Pages

November 30, 2012

Fenomena Pengunduran Diri pada Pemerintah Daerah



Pada bulan September 2012 pemberitaan pengunduran diri Wakil Bupati Garut Dicky Chandra, menjadi fenomena baru di masa otonomi daerah saat ini. Kemudian disusul oleh pengunduran diri Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto pada akhir Desember 2011. Tampaknya ini merupakan hal baru di fase demokrasi ketika rakyat memilih para pemimpinnya secara langsung. Sikap ini kemudian mendapatkan berbagai tanggapan pro dan kontra baik dari kalangan pemerintahan (mendagri dan kepala daerah), anggota parlemen, maupun rakyat daerah yang bersangkutan. Walaupun di luar itu semua, dalam UU No. 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah telah diatur bahwa pejabat kepala daerah memiliki hak untuk mengundurkan diri dalam masa jabatannya.

Alasan Pengunduran Diri
Berbagai alasan dikemukakan, namun tampaknya lebih karena ketidakharmonisan antara kedua pimpinan daerah tersebut. Dalam kasus Dicky Chandra, ia menyebutkan bahwa alasannya adalah, “Karena saya tidak mampu membantu Bupati. Saya terlalu banyak kelemahan, dari sisi pengalaman saya juga kurang. Kalau bicara tidak sejalan.[i] Hingga Asisten I Pemerintahan, Hukum, dan Hak Azasi Manusia (HAM) Pemprov Jabar Herri Hudaya, menilai bahwa isi dari surat pengunduran diri tersebut lebih mirip dengan curahan hati (curhat).
Sedangkan dalam kasus pengunduran diri Prijanto, ia menyatakan bahwa pengunduran dirinya karena merasa tidak bisa bekerjasama dengan Gubernur Fauzi Bowo. Namun banyak pihak menangkap kesan bahwa ia ingin mencalonkan diri dalam Pilkada DKI Jakarta tahun ini. Karena akhir masa baktinya bersama Gubernur DKI Fauzi Bowo baru akan berakhir pada 7 Oktober 2012. Keterangan resmi mengenai pengunduran diri Prijanto dikeluarkan oleh perwakilan bidang Humas Pemprov DKI Jakarta, Minggu (25/12/2011), kepada para wartawan. Meski demikian, Fauzi Bowo menanggapi bahwa ia tetap menghormati keputusan yang diambil oleh Prijanto. Ia meyakini bahwa pengambilan keputusan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sudah benar-benar dipikirkan oleh Prijanto.
Dengan dua kasus di atas, memang sudah memperlihatkan adanya perubahan budaya di kalangan pejabat di negara ini. Dari sisi kemauannya untuk mundur dapat diberikan poin positif mungkin dikarenakan ketidakmampuan untuk meneruskan amanat rakyat. Namun, dari sisi lain masih banyak hal yang perlu dijelaskan. Rakyat dituntut agar lebih cerdas dalam menyikapi setiap pemberitaan dalam media yang ada.

Peraturan Perundangan
Dalam UU No 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah memang tidak dilarang jika kepala daerah atau wakil kepala daerah suatu pemerintahan ingin mengundurkan diri karena alasan merasa tidak dapat menunaikan kewajibannya lagi, atau ingin mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kepala/wakil kepala daerah di daerah sendiri atau daerah lain. ini berlaku bagi wakil bupati, atau wakil walikota, atau wakil gubernur. Namun celah dalam UU ini jarang dilakukan oleh wakil kepala daerah selama ini.

Adapun poin penjelasan mengenai pengunduran diri kepala daerah:[ii]
huruf (q)
Pengunduran diri gubernur dan wakil gubernur dibuktikan dengan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali disertai dengan surat persetujuan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, sedangkan keputusan Presiden tentang pemberhentian yang bersangkutan sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah disampaikan kepada KPU provinsi selambat-lambatnya pada saat ditetapkan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.
Pengunduran diri bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dibuktikan dengan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali disertai dengan surat persetujuan Menteri Dalam Negeri, sedangkan keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pemberhentian yang bersangkutan sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah disampaikan kepada KPU kabupaten/kota selambat-lambatnya pada saat ditetapkan sebagai calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.
Jika hal tersebut disetujui pejabat berwenang maka kekosongan jabatan dapat diisi sesuai peraturan UU berikut ini:[iii]
Pasal 26 ayat 6-7
(6)  Dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik karena meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya dan masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
(7) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang berasal dari calon perseorangan karena meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya dan masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
Menurut pakar hukum administrasi negara dari UGM Zainal Arifin Mochtar, seorang kepala daerah atau wakilnya resmi berhenti dari jabatannya sejak menyatakan mengundurkan diri. Keputusan presiden tentang pemberhentian kepala/wakil kepala daerah hanyalah menegaskan status pejabat yang bersangkutan. Karena tidak ada lembaga penerima pengunduran diri. Sifat DPRD lebih pada penegasan saja. Maka, seseorang yang mengundurkan diri, berhenti sejak menyatakan berhenti. Keppres lebih pada statusnya saja, sifatnya hanya meresmikan.[iv]

Tanggapan Negatif
Anggota Komisi II  DPR Arif Wibowo menilai, pengunduran Dicky Chandra dari Wakil Bupati Garut telah melanggar etika sebagai pejabat publik. Apalagi pengundurannya lebih disebabkan oleh masalah pribadi. "Itu urusan internal dan pasangannya, dia harus menjalankan roda pemerintahan sebagai konsekuensi orang yang sudah diberi amanah oleh rakyat. Jangan dijadikan problem pribadi. Sebagai pejabat publik yang diberi amanah oleh rakyat harus bertanggung jawab terhadap apa yang diberikan rakyat. Jika Dicky memiliki masalah internal, seharusnya masalah tersebut disampaikan pada publik agar publik bisa menilai. Seharusnya pengunduran dirinya tidak usah."
Baginya, ada tiga alasan kenapa Dicky Chandra tak patut untuk mengundurkan diri dari jabatan Wakil Bupati. "Pertama, ini melanggar etika. Kedua, suatu sikap tidak bertanggung jawab dari amanah rakyat yang diembankan. Dan ketiga, tidak menjadikan urusan pemerintahan sebagai urusan privat. Karena tidak bertanggung jawab dan menjadikan masalah pemerintahan dipersempit menjadi masalah pribadi." Karena pengunduran diri seorang pejabat pemerintah akan menjadi preseden buruk bagi pemerintahan. (12/9/2011)[v]
Ketua DPRD DKI Jakarta, Ferrial Sofyan, mengatakan bahwa pengunduran diri seorang gubernur atau wakil gubernur harus berkoordinasi dulu dengan partai politik yang mendukungnya saat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Hal itu merupakan sebuah etika politik yang sudah semestinya dilakukan oleh seorang pemimpin. Mengingat pasangan gubernur dan wakil gubernur ini terpilih karena dukungan partai politik pendukungnya dan juga warga Jakarta secara umum. Menurutnya "Prijanto dulu didukung 21 partai politik. Jadi seharusnya, dia koordinasi terlebih dahulu ke partai politik yang mengusungnya. Tidak ujug-ujug ke Menteri Dalam Negeri".
Menurutnya juga, persetujuan pengunduran diri seorang gubernur atau wakil gubernur ini harus melewati berbagai macam prosedur. Pada akhirnya, yang berhak memutuskan pengunduran diri ini adalah DPRD setelah menerima surat pengunduran diri resmi dan menggelar Rapat Pimpinan. "Itu etika politiknya. Disetujui atau tidaknya pengunduran dirinya kembali pada DPRD DKI".[vi]
Pengamat Politik UI Boni Hargens, menyayangkan pengunduran diri Prijanto sebelum masa jabatannya berakhir. Boni memperkirakan, pengunduran diri Prijanto  terkait dengan rencananya untuk maju pada Pilkada Gubernur DKI Jakarta yang akan diselenggarakan pada Juli 2012 (Republika, 25/12/2011). Jika mencermati Peraturan Pemerintah (PP) No 49 tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 6 tahun 2005 tentang Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; sebetulnya cukup memberikan waktu yang longgar kepada pejabat daerah untuk menyelesaikan tanggung jawabnya meskipun ingin mencalonkan diri kembali. Pada pasal 40 PP No.49 tahun 2008 itu menyebutkan, bahwa pejabat yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan surat pengunduran diri ke Menteri Dalam Negeri pada 14 hari sebelum hari pendaftaran pencalonan ke KPU daerah.
Penilaian Peneliti LIPI Tri Ratnawati, pengunduran diri Prijanto dari jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta saat ini sebagai keputusan yang tidak profesional. Menurut dia, Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih masyarakat untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan hingga akhir masa jabatannya. "Meskipun Prijanto tidak menjelaskan alasan pengunduran dirinya, tapi sejumlah pihak menduga karena ingin maju pada Pilkada DKI Jakarta mendatang". Sebaiknya, Prijanto melaksanakan tugasnya hingga akhir masa jabatannya pada Oktober 2012. Perbedaan pandangan antara Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tidak bisa dijadikan dasar untuk mengundurkan diri, karena amanat rakyat jauh lebih penting. Jika terkait dengan keinginan untuk mencalonkan diri pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, pengunduran diri Prijanto ini tergolong lebih awal. Pengunduran diri pejabat daerah yang lebih awal seperti ini terjadi di beberapa daerah, yakni berpisahnya pasangan pemenang pilkada yang memimpin daerah menjelang pilkada berikutnya. Motifnya jelas yakni, masing-masing dari mereka ingin mencalonkan kembali menjadi orang nomor satu di daerah yang pernah dipimpinnya.[vii]

Evaluasi Peran Wakil Kepala Daerah
Kasus mundurnya Dicky Chandra dan Prijanto dari kursi Wakil Bupati Garut dan Wakil Gubernur DKI Jakarta merupakan contoh kecil persoalan ketidakharmonisan pasangan kepala daerah yang tersebar di Indonesia. Terhitung menurut Saldi Isra (26/12/11), kemungkinan hanya 2 hingga 3 persen kepala daerah yang bisa harmonis dan melanjutkan pemilihan periode berikutnya. Selebihnya, pasangan pimpinan daerah banyak yang  tidak cocok. Ada yang tahan sampai akhir, ada yang berpisah di tengah jalan. Untuk itu, peran wakil kepala daerah perlu dievaluasi.
Alasan pengunduran diri para wakil kepala daerah ditengarai berawal dari porsi tugas yang kurang seimbang di antara kepala dan wakil. Atau persoalan pembagian “kue politik“ sebagai pemimpin daerah. Selama ini sepertinya wakil hanya sebagai pemain cadangan. Jika pemain inti masih mampu bermain, pemain cadangan cukup duduk manis saja. Oleh karenanya, perlu ada aturan yang jelas tentang pembagian tugas dan kerja antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah. Amanat para pemilih sepatutnya lebih penting ketimbang mengedepankan kepentingan pribadi. Jabatan itu adalah kewajiban yang dibebankan rakyat dalam kurun waktu tertentu untuk menjalankan tugas pemerintahan.
Dalam UU Pemerintahan Daerah memang tidak terlalu menggambarkan secara rinci bagaimana sesungguhnya peran seorang wakil kepala daerah. Pada umumnya wakil kepala daerah hanya memiliki wewenang terbatas substitusi jika kepala daerah berhalangan. Karena yang diberikan mandat adalah kepala daerah. Sedangkan wakil kepala daerah bertanggung jawan kepada kepala daerah, sehingga akan efektif kalau diberi kewenangan oleh kepala daerah. Jika wewenang tersebut tidak didapatkan, terlebih lagi jika wakil kepala daerah menunjukkan rivalitas kepemimpinan, maka tugas wakil kepala daerah bisa jadi hanya berujung pada seremonial seperti “gunting pita” tanpa ada kewenangan pemerintahan yang berarti. Hal inilah yang sering memicu terjadi konflik antar-pasangan kepala daerah.
Ruang konflik antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah antara lain mengenai isi kewenangan sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan tugas. Berbagai tugas wakil kepala daerah berkaitan dengan kata kerja: membantu, memantau, mengkoordinasikan, menindaklanjuti, melaksanakan, mengupayakan, mengevaluasi, memberikan saran memerlukan kewenangan untuk melaksanakannya. Tanpa ada batas kewenangan yang jelas. berbagai tugas tersebut akan menjadi kabur dalam implementasi dan tanggungjawabnya. Kewenangan tersebut terutama berkaitan dengan aktivitas untuk memutuskan sesuatu. Apabila keputusan yang telah diambil oleh wakil kepala daerah dimentahkan kembali oleh kepala daerah, maka wibawa wakil kepala daerah akan pudar.
Meskipun kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu paket, tetap hubungan kerjanya bersifat hierarkhis, karena dalam satu organisasi hanya ada satu pimpinan tertinggi.
Pasal 26
(1)    Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
  • membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
  • membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
  • memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
  • memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;
  • memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah;
  • melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan
  • melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan. (2)    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.
    (3)    Wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya.
Secara umum fenomena pengunduran diri ini sepertinya tidak merugikan masyarakat, karena porsi kerja dan wewenang wakil kepala daerah tidak besar. Sehingga roda pemerintah dapat berjalan sebagaimana biasa. Namun hal tersebut akan membuat situasi politik tidak stabil. Terlebih lagi bagi pasangan yang akhirnya menjabat berasal dari gabungan partai politik pendukungnya kala pemilukada yang lalu.
Pembagian tugas, wewenang dan kewajiban antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah harus disadari merupakan wilayah yang rawan konflik, apabila tidak diatur secara tegas dan rinci dalam ketentuan perundang-undangan yang cukup kuat kedudukan hukumnya.
Ada tiga model yang dapat digunakan yakni:[viii]
1)   Diatur secara rinci dalam UU atau PP
   Pola ini memiliki kelebihan karena memberikan kepastian hukum mengenai apa yang menjadi tugas, wewenang dan kewajiban wakil kepala daerah, sehingga memperkecil peluang terjadinya konflik.
  Pola ini memiliki kelemahan yakni kaku, sehingga menutup adanya diskresi dari kepala daerah untuk memberikan tugas, wewenang dan kewajiban yang lebih luas kepada wakil kepala daerah. Pola ini juga tidak memperhatikan perbedaan karakteristik masing-masing daerah yang seharusnya diikuti dengan isi pembagian tugas, wewenang dan kewajiban antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah secara berbeda.
  UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan pola ini, tetapi tidak memberi perintah untuk menjabarkannya lebih lanjut dalam Peraturan Kepala Daerah (Perkada).
2) Diatur prinsip-prinsipnya di dalam UU atau PP, kemudian dijabarkan lebih lanjut dengan peraturan yang lebih rendah tingkatannya seperti Peraturan Kepala Daerah.•  Pola ini menggunakan pendekatan eklektif, yakni menggabungkan berbagai keunggulan dari berbagai pendekatan. Melalui pola ini, maka prinsip-prinsip pembagian tugas,wewenang, kewajiban dan tanggung jawab antara kepala daerah dengan wakilnya ditetapkan secara limitatif dalam UU atau PP. Dengan demikian ada pedoman yang jelas bagi kedua belah pihak.
  UU atau PP tersebut kemudian memberi mandat kepada kepala daerah untuk menjabarkan lebih lanjut mengenai isi tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab wakil kepala daerah sesuai situasi dan kondisi masing-masing daerah serta komitmen awal pada saat pencalonan dalam pilkada. Penjabarannya diatur lebih lanjut melalui Perkada.
  Meskipun wakil kepala daerah tidak mengambil keputusan secara langsung mengenai hal-hal yang bersifat strategis, wakil kepala daerah harus memiliki kemampuan mempengaruhi kepala daerah untuk membuat keputusan sesuai gagasannya.
3)  Tidak diatur dalam UU atau PP, tetapi lebih merupakan “gentlemen agreement” diantara dua orang yang dibuat pada saat adanya kesepakatan untuk maju bersama dalam Pilkada.
  Pola ketiga ini memberikan kebebasan sepenuhnya pada kepala dan wakil kepala daerah dalam membagi tugas, wewenang, kewajiban dan tanggungjawabnya sesuai kesepakatan awal pada saat pencalonan.
Kunci keberhasilan pola ini tergantung pada kesungguhan dari masing-masing pihak untuk memegang teguh komitmen yang masing sudah dibuat. Pola ini sangat cocok untuk digunakan bagi orang-orang yang sudah matang berpolitik dan sudah dikenal luas karakternya.
  Pola ketiga ini memang rawan konflik, karena posisi kekuasaan amat menggiurkan, terlebih jika berkaitan dengan anggaran.

Wacana Pemda Tanpa Wakil Kepala Daerah
Dari fenomena seperti ini, ada wacana untuk meniadakan wakil kepala daerah dalam pemerintahan daerah. Walaupun wacana ini nampak tidak populer terutama akan menimbulkan instabilitas politik bagi kalangan partai politik, akan  tetapi kebijakan tersebut tentunya dapat ditinjau kembali.
Perlu tidaknya wakil kepala daerah dapat dilihat pula dari cakupan wilayah pemerintahan. Bagi wilayah yang luas dengan aktivitas tinggi, peranan wakil kepala daerah sangat penting untuk membantu kelancaran roda pemerintahan daerah. Sedangkan wilayah kecil mungkin posisi wakil kepala daerah tidak terlalu diperlukan. Namun yang terjadi saat ini baik wilayah kecil maupun besar memiliki wakil kepala daerah. Ironisnya, wilayah pemekaran yang belum ditentukan posisi dana APBD juga menempatkan wakil kepala daerah. Hal ini tentunya akan memperbanyak pos anggaran daerah.[ix]
Hingga tampaknya posisi wakil kepala daerah saat ini perlu ditinjau kembali. Terlebih banyak kejadian, hubungan kepala daerah dan wakilnya hanya harmonis ketika masa kampanye. Setelah terpilih, hubungannya mulai renggang bahkan terkesan rivalitas. Peranan wakil kepala daerah selama ini dirasakan kurang signifikan. Kalaupun ada wakil kepala daerah yang menonjol hanya sedikit. Karena itu dalam revisi UU 32 Tahun 2004, DPR dan pemerintah tengah merumuskan kebijakan tersebut.
Posisi yang terkesan penting dan strategis dari jabatan wakil kepala daerah dalam kerangka manajemen pemerintahan sebetulnya berawal dari respon atas demokrasi yang berlebihan. Hingga menyakini bahwa kehadiran pos jabatan wakil kepala daerah melalui pemilukada langsung adalah pilihan yang dianggap lebih demokratis dan lebih pas dengan semangat otonomi daerah. Terlebih lagi beberapa paket pasangan calon pimpinan pemerintahan daerah seakan hanya sebagai simbol untuk menarik dukungan suara dan menjadi “sumber daya” ekonomi politik bagi partai. Namun dalam perjalanannya rasionalitas pertimbangan kebutuhan dari aspek tata kelola pemerintahan daerah tidak terlalu diperhatikan.
Bertolak dari berbagai tinjauan sebelumnya, ditambah dengan kebutuhan melahirkan kepemimpinan lokal yang solid, efesiensi anggaran daerah, mengurangi beban biaya sosial, politik dan ekonomi dalam proses Pemilukada, mungkin akan lebih tepat dan produktif jika pilihannya adalah menghapus keseluruhan pos jabatan wakil kepala daerah atau menghapus pos wakil kepala daerah di wilayah kecil saja. Hal ini tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi maupun konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4). Dengan demikian tugas-tugas fungsionalnya dapat dilimpahkan kepada Sekretaris Daerah. Perihal teknis regulasi terkait dapat didiskusikan lebih jauh oleh Pemerintah dan DPR kelak pada saat pembahasan RUU Pemilukada.(*)

Oktober 2012


[i] Kata Dicky Chandra usai bertemu Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di rumah dinas Gubernur, Gedung Pakuan Bandung, Jawa Barat, Rabu 7 September 2011. (http://nasional.vivanews.com/news/read/245701-gubernur-diminta-jadi-mediator-aceng-dicky) 
[ii] UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 
[iii] UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 

No comments:

Post a Comment