Pages

October 30, 2012

Smart Choice for Smart Parents

Ketika hamil anak pertama tahun 2008-2009 saya belum tau soal cloth diaper (clodi). Jadi waktu sang kakak lahir, pakai popok kain biasa sampai 2 bulan, setelah itu pakai pospak kalau malam. Dia jadi lebih nyaman karena tidak merasa basah. Kemudian karena saya sibuk dengan tugas tesis, jadi soal perawatan anak seperti masalah popok, MPASI, dll kurang banyak tahu. Apalagi gak ikut milis ibu-ibu. Target saya hanyalah menyelesaikan kuliah dengan segera supaya bisa fokus mengurus anak dan keluarga. Jadi waktu itu sempat ruam ketika memakai pospak merk tertentu. Kasian melihatnya :( Waktu MPASI juga makan instan dan bubur saring. Padahal ternyata banyak menu MPASI rumahan yang tidak membuat alergi. Hmmmmppphh… pokoknya ketika merawat anak pertama benar-benar kurang banyak info. Tapi mudah-mudahan hal itu tidak mengurangi standar kesehatan dan pendidikan anak di usia emasnya. Bersyukur sang kakak tumbuh dengan perkembangan optimal aspek motorik halus dan kasar juga jarang sekali sakit. Mungkin juga karena lulus sarjana ASIX.

Ketika hamil anak kedua 2009-2010 saya mulai ikut milis kesehatan, ibu hamil, MPASI, dll. Nah, di sinilah saya baru tau ada diaper yang bisa dicuci. Merasa ketinggalan zaman banget deh :p Setelah searching info sana-sini dan invite banyak OS clodi di FB, akhirnya saya memutuskan untuk beralih ke clodi untuk kakak dan adik. Ini baru saya lakukan di usia adik 5 bulan. Agak terlambat juga ya kayaknya. Tapi better late than never khan?? Salah satu yang menyebabkan terlambat juga karena saya harus membujuk suami untuk beralih ke clodi. Suami gak ‘tega’ membiarkan saya mencuci popok yang terkena kotoran, pasti bakalan repot. Saya gak punya asisten rumah tangga (ART) jadi kami berdua saling membantu dalam merawat anak-anak juga mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Terlebih lagi kalau dihitung-hitung saya sekarang punya dua anak bayi (karena sang kakak belum 2 tahun). Tapi akhirnya, suami setuju juga untuk beli clodi.
Kalau soal alasan beralih ke clodi ya jelas supaya sehat, hemat, dan go green. Ini untuk mengatasi soal ruam popok, dua anak saya alergi pospak tertentu. Kalau beli merk mahal, kok rasanya sayang uangnya, karena nanti juga bakalan dibuang. Terasa banget kayaknya pengeluaran per bulan habis untuk pospak. Dulu sengaja banget beli pospak di supermarket supaya dapat diskon. Selain itu kalau melihat sampah bekas pospak, merasa nyampaaaah banget. Seperti apa ya kalau semua ortu di dunia membuang pospak??? Gak kebayang bumi penuhnya… jadi beralih ke clodi sepertinya pilihan cerdas untuk ortu cerdas yang peduli pada kesehatan anak dan bumi tercinta.


 Mulai beli clodi juga dicicil, jadi per-bulan target punya 3 clodi. Selain itu paling tidak masing-masing harus punya 6-10 buah. Kebayang kan clodi-clodi yang akan dikoleksi? Totalnya sekitar 20 buah untuk sang kakak (perempuan) dan sang adik (laki-laki). Waaah soal ini Bunda semangat banget, apalagi pilihan motif clodi lucu-lucu untuk baby girl dan baby boy, warna-warni, kalau lagi SALE wuiiihh gak tahan untuk pesan. Hihihi.

Kalau soal clodi favorite, sebenarnya yang pertama dilirik adalah yang murah. Maklumlah ibu-ibu biasa praktis dengan pospak lalu harus beli clodi, di awal ya terasa mahal. Apalagi masih campur juga menggunakan pospak karena clodi belum memenuhi jumlah ‘kuota’. Jadi pilihan pertama adalah clodi Cina dan lokal. Selanjutnya stok bertambah seiring dengan rasa ingin tahu mengenai clodi baru terutama produk lokal yang murah dan berkualitas. Semoga bisa diwariskan ke adik-adiknya nanti.
 
  

*) dengan ditambah beberapa editan dari tulisan asli, yang memenangi kuis berhadiah 2 buah clodi & feminine pad dari Athailah shop :D

Ber-clodi Ria di Kampung Halaman

Tahun 2011 ini kami mudik ke Garut. Sebenarnya sih bukan kampung halaman, karena saya pribadi lahir di Jakarta, ortu dan mertua juga semua berada di Jakarta. Tapi karena keluarga nenek mamaku masih banyak di sana, jadi mudik kali ini dalam rangka silaturahim ke sanak saudara (karuhun-kalau basa Sundanya :p).

Awalnya ketika packing pakaian selama tiga hari, aku sama sekali belum mewacanakan ke suami agar tetap pakai clodi untuk adik Malik (14 bulan). Apalagi bepergian, belum tahu juga nanti akan menginap di mana dan apakah ada mesin  cuci atau tidak. Soalnya dulu awalnya berclodi juga kurang disetujui suami, karena dia tidak tega kalau aku harus nyuci-nyuci ribet. Hehehe.

Tapi ternyata tanpa diduga, suami justru saranin bawa aja untuk ganti sekadar tiga pasang. Waaah kesempatan, aku bawa aja selusin clodinya adik. Mungkin dia udah terkena ‘radiasi’ kampanye go green atau lama-lama sudah semakin terasa hematnya menggunakan clodi. Karena disadari kita tidak lagi berbondong-bondong beli pospak untuk memenuhi trolley di supermarket dan mengincar promo banting harga para produsen pospak.

Jadilah aku bawa clodi selusin dengan masing-masing double insert dan beli sabun cuci piring untuk kucek-kucek noda pup atau membersikan pee. Akhirnya kami mudik tanggal 5 September 2011 setelah arus balik, karena tidak harus mengejar lebaran di sana, jadi mau santai di jalan aja. Tapi ternyata macet juga di daerah Kadungora setelah Nagreg *curcoldotcom*.

Hari pertama: Clodi inner bamboo dan double insert dipakai dari rumah (berangkat jam 11), baru diganti sore jam 4. Karena gak terlalu basah mungkin lebih banyak ekskresi cairan untuk keringat dibanding pee. Walaupun semriwing juga, tapi semoga tetap bisa bernafas kulitnya. Kemudian akhirnya sampai juga di Cilawu rumah keponakan mamaku. Di sana airnya dingin sekali karena dekat kaki gunung. Suhunya cocok untuk adik karena full AC (AC alam, hehe). Kemudian ganti clodi baru setelah mandi. Lalu sebelum tidur ganti lagi karena adik pup. Lalu pakai lagi clodi dengan double insert untuk malam, khawatir heavy wetter karena suhu dingin. Kondisinya, aku gak bisa jemur nih karena mau ditinggal pergi-pergi. Rumah tempat menginap gak ada yang jaga kalau jemur di luar. Jadi clodi hanya dicuci bersih dan diperas tangan lalu disimpan dalam kantong plastik (wetbagnya gak muat). TOTAL hari pertama 3 clodi.
 
Hari kedua: Ganti clodi bangun tidur dengan 1 insert saja. Sebelum silaturahim, mau pergi mandi dulu di pemandian air panas. Tetapi ternyata, kita justru ke tempat yang ada kolam renangnya. Jadilah Malik dibawa berenang sama adikku, dan tuh clodi dibawa nyemplung. Baru sadar setelah bilas, berharap PUL-nya tidak rusak karena air hangat belerang dan adik belum pee :p. Nah karena ribet setelah memandikan adik dan aku masih ngantri bilas, jadi adik diganti bajunya sama ayah. Laaah dipakain pospak deh, yang dibawa untuk cadangan. Mungkin ribet kalau pakai clodi, padahal aku dah siapin clodi double insert.
 

Lalu kita lanjut silaturahim sampai sore. Adik diganti clodi lagi setelah mandi sore, karena siang pospaknya masih cukup menampung. Sebelum tidur juga diganti lagi dengan double insert. TOTAL hari kedua 3 clodi, karena diseling pospak 1 kali.

Hari ketiga: pagi-pagi langsung ganti clodi setelah mandi. Tidak lama, eh dia pup jadi ganti lagi dengan 1 insert. Lalu kita pergi ke Cikajang daerah pegunungan, panas kalau siang jadi banyak berkeringat dan sedikit pee. Siang di tempat saudara, ganti clodi lagi dengan double insert. Lalu bersiap kembali ke Jakarta tapi mampir ke rumah saudara dulu di Bandung. Clodi diganti di rumah saudara, supaya bernafas dan khawatir sampai rumah malam banget. Akhirnya sampai Jakarta, Alhamdulillah. Setelah bersih-bersih sebelum tidur malam, diganti dulu clodinya dengan double insert. TOTAL hari ketiga 5 clodi.

Akhirnya bisa tetap berclodi ria di perjalanan-menginap walaupun tidak bisa jemur-jemur pakaian. Konsekuensinya pulang dengan membawa banyak cucian yang basah karena dipakai renang dan cucian clodi ditambah dengan cucian kering, dapat dipastikan menjadi ‘oleh-oleh’ perjalanan mudik tahun ini. Hehehe. Tiga hari nyuci gak selesai-selesai nih dan setrikaan bunda menumpuk. Walaaaah :p syukurnya clodi gak usah disetrika :D
Oh iya, setelah aku cek clodi insert bamboo pempem ada bercak agak kekuning-kuningan, apakah karena dipakai berenang air belerang, entahlah. Tapi yang penting PUL clodi yang dipakai renang—merk yang mana lupa—gak rusak (karena pakai clodi insertnya gonta-ganti, gak sesuai pasangan antara insert dan pocket).

Tahun ini kurang memungkinkan sambil kampanye clodi ke saudara nih. Sepupuku yang punya bayi dan kebanyakan saudara yang lain sudah pada pulang, karena aku mudiknya telat. Hehehe. Maybe next time kalau punya baby lagi yang diajak mudik (berharap tahun depan Malik dah lulus toilet training, Amiin).

Ayuks ayah bunda tetap bersemangat go green! Walaupun rempong jaya bangeeeet daaah ^^. Tetap dinikmati dan happy aja, walaupun riweeeuh euy sama cucian seabrek,,,, hehehe.

*) tulisan ini memenangi hadiah 2 buah clodi dari Kompoka-Komunitas Popok Kain

October 29, 2012

Meninjau Efektivitas Partai Politik

Pemberitaan media yang lalu seputar rapuhnya mesin partai politik (parpol) menjelang Pemilu 2009 menjadi fenomena yang melanda parpol. Kondisi tersebut terlihat dari belum terlaksananya fungsi parpol secara optimal sebagai mesin penggalang suara dan basis massa. Parpol dalam sistem demokrasi memiliki beberapa fungsi dalam menyokong partisipasi politik masyarakat. Di antaranya adalah fungsi komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, pengatur konflik, dan kandidasi. Namun yang terlihat umum, parpol justru cenderung lebih memfungsikan dirinya dominan pada fungsi kandidasi politik, sebatas sebagai alat politisasi bagi calon legislatif atau presiden/wakil presiden.

Membangun Political Society

Konsep partai politik (parpol) berawal di Eropa Barat. Lalu dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka parpol berkembang menjadi penghubung antara rakyat dan pemerintah. Parpol dianggap manifestasi dari suatu sistem politik modern. Dalam negara yang menganut demokrasi, gagasan partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin, yang kelak menentukan kebijakan umum (public policy).

Fakta bahwa parpol merupakan instrumen modern sebagai lembaga yang memiliki hak dalam konstitusi untuk ‘menitipkan’ kadernya secara intra-parlementer, realitanya kurang optimal bahkan diabaikan oleh para fungsionaris parpol. Sementara Parpol merupakan political society yang berhak untuk menjalankan fungsi kaderisasi, rekrutmen, dan pendidikan politik kepada masyarakat. 

Dari pengabaian tersebut menunjukan rapuhnya “mesin” parpol. Sedang pada saat yang sama terdapat tuntutan munculnya wakil perseorangan dalam perebutan kursi jabatan politik. Lantas bagaimana semestinya fungsi dan peran parpol di Indonesia?

Pada aspek lain munculnya perseorangan sebagai calon alternatif dari civil society sesungguhnya makin memperlemah proses menuju konsolidasi demokrasi. Sebab salah satu hakikat demokrasi adalah penguatan sistem kepartaian sebagai satu-satunya saluran mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan publik. Selain itu, fenomena kecenderungan massa untuk memilih kandidat (orang) bukan parpol, sesungguhnya merupakan bentuk ketidakpahaman sipil terhadap mekanisme demokrasi (civic ignorance) –yang sepatutnya menjadi fungsi sosialisasi bagi parpol. Walau pun terpahami bahwa pembangunan sistem parpol di Indonesia secara kelembagaan tergolong dini dibanding saat parpol berfusi 3 di era Orde Baru. Namun, transisi demokrasi saat ini cukup memberi ruang bagi parpol menguatkan dan membangun institusi kediriannya sesuai dengan fungsinya.


Persoalan dalam internal parpol dikarenakan kebanyakan tipe parpol yang ada adalah partai massa bukan partai kader. Kondisi ini menjadikan parpol tidak dapat mengandalkan kekuatan mesinnya dalam menjalankan penggalangan suara. Justru yang dilakukan pada saat kampanye lebih kepada sosialisasi berupa hiburan bagi massa, bukan menekankan pada pendidikan politik. Padahal semakin ‘cerdas’ rakyat seharusnya semakin mendukung terciptanya demokrasi elektoral yang lebih baik.

Fenomena saat ini, parpol justru merekrut sejumlah artis sebagai vote getter dan menggelar open recruitment kandidat di media massa bagi mereka yang ingin menjadi caleg pada Pemilu 2009. Proses pendulangan suara lebih dimaksimalkan melalui caleg yang bersangkutan secara mandiri, terlebih lagi dengan disetujuinya uji materiil penetapan legislator melalui suara terbanyak oleh MK beberapa waktu lalu. Kondisi di atas mencerminkan belum berjalannya fungsi kaderisasi dan pendidikan politik dari parpol kepada masyarakat. Masyarakat masih diposisikan sebagai objek politik ketimbang subjek politik.

Selain itu, kebanyakan parpol ternyata tidak memiliki mesin politik yang efektif. Akibatnya, kekuatan elektoral parpol cenderung stagnan. Parpol tidak lagi mengandalkan organisasi di tingkat grass root untuk melakukan sosialisasi dan menjangkau pemilih potensial. Sedangkan, penggunaan media massa hanya dapat dijangkau parpol yang memiliki cukup finansial. Elite partai juga tidak ‘membumi’ untuk berdekatan dengan konstituennya.
 

Fenomena yang terlihat saat ini kepercayaan rakyat terhadap parpol terus menurun. Padahal, posisi parpol sangat kuat dalam konstitusi untuk menjalankan fungsi yang tidak dimiliki oleh lembaga lain, misalnya: berhak mencalonkan presiden dan wakil presiden serta mengisi kursi legislatif.

Kini, parpol harus mengubah diri untuk membangun kekuatan elektoral dalam jangka panjang bukan hanya menjelang pemilu. Tidak perlu terlalu mengandalkan artis sebagai vote getter walaupun hasil survei LSI tanggal 8-20 September 2008 menggambarkan demikian. Misalnya, survei tersebut memperlihatkan bahwa caleg artis (Eko Patrio 5,6%) lebih berpeluang untuk dipilih ketimbang caleg politisi (Ferry Mursyidan Baldan 0,1%).

Di sisi lain, faktanya pada proses pendulangan suara, kader parpol yang menjadi tokoh daerah justru lebih ‘sukses’ meraih suara ketimbang artis. Hal tersebut terlihat pada perolehan suara antara Ferry Mursyidan Baldan (98.835) dan Nurul Arifin (81.566) di Dapil Jabar pada Pemilu 2004. Atau fakta lainnya yang menunjukkan kebanyakan artis malah terpuruk dalam perolehan suara pemilih. Lebih dari separuh artis (13 dari 25 orang) hanya mampu mengumpulkan suara kurang dari 10% BPP. 

Hasil itu menunjukkan fakta tidak banyak artis yang sukses memenuhi misi partai mendulang suara pemilih pada Pemilu 2004. Karena artis hanya memiliki fans, yang tentunya sangat berbeda dengan basis massa riil yang dimiliki dan dibina oleh kader politisi parpol. Fans belum tentu akan menyuarakan haknya melalui proses pemilu. Hal ini yang tidak disadari di lapangan, kadangkala popularitas belum tentu berbanding lurus dengan elektabilitas.

Oleh karena itu, sebenarnya masih ada kepercayaan rakyat terhadap kader parpol. Kini tinggal bagaimana parpol dapat bekerja membangun kekuatan elektoral di daerah kantong basis massa dan memperbaiki mesin politiknya agar dapat bekerja secara efektif.(*)

(Siti Nurhayaty Dewi, Mahasiswa S2 Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia, bergabung dalam political Science Forum-UI & Nusantara Institute)

*) dimuat di koran TERBIT, Selasa 10 Maret 2009

Refleksi Pendidikan Nasional: Tinjauan Demokrasi untuk Kesejahteraan


Demokrasi hanya bisa berkembang baik bila ditopang oleh warga-negara berpendidikan memadai serta kelas menengah yang kuat dan independen. [Lipset]
 
Perkembangan kajian mengenai kapitalisme, sosial, dan demokrasi saat ini banyak dikaitkan dengan aspek yang berujung pada kesejahteraan rakyat. Sebagaimana yang diketahui, perkembangan kapitalisme merupakan bagian dari gerakan individualisme. Gerakan tersebut tentunya berimplikasi kepada bidang lain. Kapitalisme mengandung pengertian sebagai definisi atas sistem sosial yang menyeluruh[i], lebih dari sekadar suatu tipe tertentu dalam perekonomian.

Di negara demokrasi, Pemerintah mendorong terwujudnya kegiatan ekonomi tertentu secara tidak langsung melalui penetapan anggaran, pajak, tingkat bunga, dan berbagai kebijakan perencanaan lainnya. Fungsi pasar bebas sebagai mekanisme kebebasan politik semakin diakui oleh kaum sosialis, karena ternyata yang penting bukanlah masalah kepemilikan.[ii]

Perjalanan transisi demokrasi di Indonesia saat ini erat kaitannya dengan aspek kesejahteraan dan teori kemakmuran. Persoalan tersebut semakin menarik, ketika ternyata salah satu aspek kesejahteraan yaitu persoalan pendidikan nasional yang menjadi problema tersendiri untuk masyarakat. Sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi UUD 1945 Amandemen IV, pendidikan merupakan salah satu aspek yang seharusnya dijamin oleh Negara. Namun, perihal implementasi serta kaitannya dengan sistem demokrasi yang dipraktikkan Pemerintah, terkadang menjadi kendala tersendiri.

Tulisan ini akan membahas bagaimana kaitannya antara teori kemakmuran dalam demokrasi dengan beberapa permasalahan pendidikan nasional di Indonesia.

Kaitan antara demokrasi dan kesejahteraan menjadi perdebatan panjang di kalangan ilmuwan politik dan ekonomi. Perdebatan berujung pada pertanyaan apakah demokrasi dapat mengantar kepada kesejahteraan, serta apakah demokrasi merupakan satu-satunya jalan menuju kemakmuran. Kesimpulan perdebatan tetap spekulatif karena bergantung pada sejumlah asumsi dasar dan persyaratan yang harus dipenuhi, agar demokrasi dapat memuluskan jalan mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Hubungan demokrasi dan kesejahteraan bersifat non-linier dan kondisional, karena melibatkan banyak faktor, seperti pengalaman sejarah, basis sosial, struktur masyarakat, pendidikan penduduk, penegakan hukum, dan kelembagaan politik.

Menginjak satu abad hari Pendidikan Indonesia, masalah pendidikan nasional hingga kini masih menjadi persoalan tersendiri. Anggaran pendidikan  20% yang termuat dalam konstitusi seakan hanya menjadi suatu harapan panjang yang lama akan terwujud. Belum lagi jika dikaitkan dengan liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Bantuan operasional sekolah (BOS) yang berimplikasi pada pembebasan SPP sekolah, boleh jadi menjadi suatu prestasi tersendiri. Namun, kadangkala persoalan buku paket atau ekstrakurikuler menjadi satu pos anggaran baru yang mengakibatkan orang tua tetap harus mengeluarkan biaya mahal untuk menyekolahkan anaknya. Pun, jika melihat pada gaji yang didapat oleh para pendidik masih jauh dari aspek kesejahteraan.

Anggaran pendidikan rata-rata masih di bawah target yang diharapkan. Hal ini pun akan semakin membebani, jika Mendiknas akan melaksanakan anjuran Pemerintah untuk menghemat 15% dari pagu anggaran APBN-P 2008, sebagai upaya efisiensi terkait dengan kenaikan harga minyak dunia. Bila anggaran dipotong 15%, hal itu akan membuat anggaran pendidikan pada 2008 lebih rendah dari anggaran 2007 sebesar Rp 44,1 triliun. Inilah paradoks di Indonesia. Di satu sisi Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam. Namun, di sisi lain perhatian pemerintah terhadap potensi sumber daya manusia (human capital) belum optimal.

Permasalahan pendidikan lainnya adalah “komersialisasi” perguruan tinggi negeri (PTN). Sejak beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) fakta yang ada menunjukkan bahwa biaya kuliah semakin terasa mahal. Beberapa kampus yang harus mandiri dituntut untuk mencari sumber penghasilan lain dari beberapa unit usaha komersil di lingkungan kampus. Hal tersebut dapat berupa ujian mandiri, pengadaan uang pangkal (admission fee), serta pos biaya lainnya yang membebani mahasiswa.

Fenomena kebebasan sebagai inti dari nilai demokrasi, terbukti merambah juga di dunia pendidikan. Tantangan globalisasi memang akhirnya menuntut perguruan tinggi melakukan pencapaian standar tertentu dengan cara modernisasi pendidikan.[iii] Hingga akhirnya beberapa sekolah swasta menyelenggarakan model pendidikan dengan ciri khas internasional. Di satu sisi hal tersebut memang diperbolehkan. Namun di sisi lain, disadari atau tidak beberapa nilai kebebasan dan modernisasi dapat mengikis rasa nasionalisme yang berimplikasi pada prestasi sekolah negeri dalam pembangunan pendidikan dalam lingkup nasional.

Bila dikaitkan dengan teori kemakmuran dalam demokrasi (ekonomi dan politik), Doel (1994:7) mengungkapkan bahwa teori kemakmuran mengandung tiga unsur[iv]:
  1. Perumusan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kemakmuran bersama dari para individu di dalam kelompok menjadi optimal
  2. Mempelajari cara mewujudkan syarat-syarat itu melalui lembaga-lembaga dan melalui kebijakan yang dijalankan
  3. Menilai secara kritis lembaga-lembaga kelompok yang ada dan kebijakan kelompok yang berlaku dari sudut kemakmuran bersama.
Korelasi antara teori tersebut dengan persoalan pendidikan yang masih menghambat pembangunan nasional sangat jelas terlihat manakala kemakmuran atau kesejahteraan yang dimaksud belum dapat memenuhi kemakmuran hingga tingkatan individu. Program kemakmuran atau kesejahteraan seharusnya juga tak sekedar dituangkan dalam konstitusi dan legislasi, tapi juga harus dikuatkan melalui institusi politik, sehingga tercipta kelembagaan pendidikan yang memadai untuk menopang program yang ada.

Lipset (1959) mengungkapkan bahwa demokrasi hanya bisa berkembang baik bila ditopang oleh warga negara berpendidikan memadai serta kelas menengah kuat dan independen. Bila kriteria tersebut belum terpenuhi maka bagaimana mungkin demokrasi bisa membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia secara luas. Sangat disadari bahwa pendidikan merupakan aspek dan syarat yang harus dicapai untuk menciptakan human capital yang berkualitas. Dengan begitu, tingkat kecerdasan dan kemakmuran dapat menghasilkan kelas menengah yang kuat dan independen dari bangsa asing.

Demokratisasi memang tak berjalan seperti garis lurus, melainkan berkembang sesuai dinamikanya menyangkut relasi kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi dengan banyaknya kepentingan (interest) yang tertanam. Untuk mewujudkan hal tersebut, pendidikan menjadi salah satu aspek yang diandalkan untuk menciptakan kondisi demokratis yang membawa kemakmuran. Untuk itu, peranan semua kalangan, mulai dari elite pemerintah, akademisi, serta kaum pemilik modal harus menciptakan sinergisitas dalam upaya pembentukan institusi politik yang dapat mendorong terciptanya lembaga pendidikan yang dapat diandalkan. Akhirnya, semua ini tergantung pada komitmen, visi, dan kemauan politik (political will) para pemimpin negara ini untuk membangun pendidikan di Indonesia


[i] Ebenstein dan Fogelman. 1994. Isme-Isme Dewasa Ini. Jakarta: Erlangga, hlm.148.
[ii] Ibid., hlm. 150
[iii] Gatot Widayanto. “Liberalisasi Pendidikan.” Koran Tempo. 2 Mei 2008.
[iv] J. van den Doel. 1988. Demokrasi dan Teori Kemakmuran. Jakarta: Erlangga, hlm. 7

Introducing


Finally, I made this blog (at blogspot) as well because my blog in Multiply will be closed, that made since 2007. I think not really optimized to be used that blog before :(

Anyway, welcome in my blog! This contents later will be about: 
  • writing of my life (just share); coincidental happen when at home, in the car, on the road, when watching the news, or when playing with my children
  • scientific writing; these posts are edited from old article (recycle) when I'm college, contains about social and political
  • writing about Islamic issues
  • about parenting; about my life as a wife and mother
  • food recipes; home made & healthy food by me or testimonial restaurant from my experience
  • my blog name is "Dewi's Stories", why? Because this is only my diary story on web hehe.
Please enjoyed & leave your comment ^^

Best Regards,




===========================================================================


Assalamu'alaikum....


Akhirnyaaa bikin blog juga setelah bolak-balik mo reparasi MP gak jadi-jadi karena blog di MP akan ditutup, padahal dah dibuat dari tahun 2007 tuh MP. Jd ngerasa belum maksimal dipergunakan, hiks :(

Anyway, welcome in my blog! Isinya nanti bakalan seputar:



  • corat-coret tulisan kehidupan yang tiba2 terpikirkan; pas lagi di rumah, pas lagi di mobil, lagi di jalan, lagi nonton berita, atau lagi ngurusin bocils :p
  • tulisan agak ilmiah; ini tulisan jadul yang disunting kembali (recycle), berisi tentang sosial dan politik.
  • tulisan ke-Islaman; edisi belajar jadi wanita sholihah :)
  • soal parenting; ini seputar hidup baruku sebagai istri dan ibuuuu,
  • sekadar resep masakan; nah ini ala dapur, atau makanan jajan di luar.
Namanya "Dewi's Stories", why? Karena cerita seputar ocehan saya ajaaa hehe.

Address-nya sparkling-women supaya menjadi wanita yang berkilau sepanjang hidup :D lebaaay. Sebenarnya mau light-of-life tapi kayaknya sudah ada yang punya. Jadilah pakai kata kilau pengganti cahaya dan women pengganti kata hidup (jauuuh kali kata penggantinya :p). Eh tapi ternyata ada jurnal/majalah dan fan page nama ini di FB, dengan nuansa feminis radikal sepertinya. Tapi biarin aja deh ya udah terlanjur, yang penting cahaya itu milik siapapun yang mau menggapainya. Seperti ilmu, yang merupakan hikmah seorang mukmin yang hilang. Jadi klo ketemu itu haknya untuk diambil. Tsaaaaah... (sibakin jilbab).



Please enjoyed & leave your comment ^^

Wassalamu'alaikum...



~Siti Nurhayaty Dewi~

Pasar Minggu, October 12th 2012