Pages

November 30, 2012

Fenomena Pengunduran Diri pada Pemerintah Daerah



Pada bulan September 2012 pemberitaan pengunduran diri Wakil Bupati Garut Dicky Chandra, menjadi fenomena baru di masa otonomi daerah saat ini. Kemudian disusul oleh pengunduran diri Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto pada akhir Desember 2011. Tampaknya ini merupakan hal baru di fase demokrasi ketika rakyat memilih para pemimpinnya secara langsung. Sikap ini kemudian mendapatkan berbagai tanggapan pro dan kontra baik dari kalangan pemerintahan (mendagri dan kepala daerah), anggota parlemen, maupun rakyat daerah yang bersangkutan. Walaupun di luar itu semua, dalam UU No. 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah telah diatur bahwa pejabat kepala daerah memiliki hak untuk mengundurkan diri dalam masa jabatannya.

Alasan Pengunduran Diri
Berbagai alasan dikemukakan, namun tampaknya lebih karena ketidakharmonisan antara kedua pimpinan daerah tersebut. Dalam kasus Dicky Chandra, ia menyebutkan bahwa alasannya adalah, “Karena saya tidak mampu membantu Bupati. Saya terlalu banyak kelemahan, dari sisi pengalaman saya juga kurang. Kalau bicara tidak sejalan.[i] Hingga Asisten I Pemerintahan, Hukum, dan Hak Azasi Manusia (HAM) Pemprov Jabar Herri Hudaya, menilai bahwa isi dari surat pengunduran diri tersebut lebih mirip dengan curahan hati (curhat).
Sedangkan dalam kasus pengunduran diri Prijanto, ia menyatakan bahwa pengunduran dirinya karena merasa tidak bisa bekerjasama dengan Gubernur Fauzi Bowo. Namun banyak pihak menangkap kesan bahwa ia ingin mencalonkan diri dalam Pilkada DKI Jakarta tahun ini. Karena akhir masa baktinya bersama Gubernur DKI Fauzi Bowo baru akan berakhir pada 7 Oktober 2012. Keterangan resmi mengenai pengunduran diri Prijanto dikeluarkan oleh perwakilan bidang Humas Pemprov DKI Jakarta, Minggu (25/12/2011), kepada para wartawan. Meski demikian, Fauzi Bowo menanggapi bahwa ia tetap menghormati keputusan yang diambil oleh Prijanto. Ia meyakini bahwa pengambilan keputusan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sudah benar-benar dipikirkan oleh Prijanto.
Dengan dua kasus di atas, memang sudah memperlihatkan adanya perubahan budaya di kalangan pejabat di negara ini. Dari sisi kemauannya untuk mundur dapat diberikan poin positif mungkin dikarenakan ketidakmampuan untuk meneruskan amanat rakyat. Namun, dari sisi lain masih banyak hal yang perlu dijelaskan. Rakyat dituntut agar lebih cerdas dalam menyikapi setiap pemberitaan dalam media yang ada.

Peraturan Perundangan
Dalam UU No 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah memang tidak dilarang jika kepala daerah atau wakil kepala daerah suatu pemerintahan ingin mengundurkan diri karena alasan merasa tidak dapat menunaikan kewajibannya lagi, atau ingin mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi kepala/wakil kepala daerah di daerah sendiri atau daerah lain. ini berlaku bagi wakil bupati, atau wakil walikota, atau wakil gubernur. Namun celah dalam UU ini jarang dilakukan oleh wakil kepala daerah selama ini.

Adapun poin penjelasan mengenai pengunduran diri kepala daerah:[ii]
huruf (q)
Pengunduran diri gubernur dan wakil gubernur dibuktikan dengan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali disertai dengan surat persetujuan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, sedangkan keputusan Presiden tentang pemberhentian yang bersangkutan sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah disampaikan kepada KPU provinsi selambat-lambatnya pada saat ditetapkan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur.
Pengunduran diri bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dibuktikan dengan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali disertai dengan surat persetujuan Menteri Dalam Negeri, sedangkan keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pemberhentian yang bersangkutan sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah disampaikan kepada KPU kabupaten/kota selambat-lambatnya pada saat ditetapkan sebagai calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.
Jika hal tersebut disetujui pejabat berwenang maka kekosongan jabatan dapat diisi sesuai peraturan UU berikut ini:[iii]
Pasal 26 ayat 6-7
(6)  Dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik karena meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya dan masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
(7) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang berasal dari calon perseorangan karena meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya dan masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
Menurut pakar hukum administrasi negara dari UGM Zainal Arifin Mochtar, seorang kepala daerah atau wakilnya resmi berhenti dari jabatannya sejak menyatakan mengundurkan diri. Keputusan presiden tentang pemberhentian kepala/wakil kepala daerah hanyalah menegaskan status pejabat yang bersangkutan. Karena tidak ada lembaga penerima pengunduran diri. Sifat DPRD lebih pada penegasan saja. Maka, seseorang yang mengundurkan diri, berhenti sejak menyatakan berhenti. Keppres lebih pada statusnya saja, sifatnya hanya meresmikan.[iv]

Tanggapan Negatif
Anggota Komisi II  DPR Arif Wibowo menilai, pengunduran Dicky Chandra dari Wakil Bupati Garut telah melanggar etika sebagai pejabat publik. Apalagi pengundurannya lebih disebabkan oleh masalah pribadi. "Itu urusan internal dan pasangannya, dia harus menjalankan roda pemerintahan sebagai konsekuensi orang yang sudah diberi amanah oleh rakyat. Jangan dijadikan problem pribadi. Sebagai pejabat publik yang diberi amanah oleh rakyat harus bertanggung jawab terhadap apa yang diberikan rakyat. Jika Dicky memiliki masalah internal, seharusnya masalah tersebut disampaikan pada publik agar publik bisa menilai. Seharusnya pengunduran dirinya tidak usah."
Baginya, ada tiga alasan kenapa Dicky Chandra tak patut untuk mengundurkan diri dari jabatan Wakil Bupati. "Pertama, ini melanggar etika. Kedua, suatu sikap tidak bertanggung jawab dari amanah rakyat yang diembankan. Dan ketiga, tidak menjadikan urusan pemerintahan sebagai urusan privat. Karena tidak bertanggung jawab dan menjadikan masalah pemerintahan dipersempit menjadi masalah pribadi." Karena pengunduran diri seorang pejabat pemerintah akan menjadi preseden buruk bagi pemerintahan. (12/9/2011)[v]
Ketua DPRD DKI Jakarta, Ferrial Sofyan, mengatakan bahwa pengunduran diri seorang gubernur atau wakil gubernur harus berkoordinasi dulu dengan partai politik yang mendukungnya saat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Hal itu merupakan sebuah etika politik yang sudah semestinya dilakukan oleh seorang pemimpin. Mengingat pasangan gubernur dan wakil gubernur ini terpilih karena dukungan partai politik pendukungnya dan juga warga Jakarta secara umum. Menurutnya "Prijanto dulu didukung 21 partai politik. Jadi seharusnya, dia koordinasi terlebih dahulu ke partai politik yang mengusungnya. Tidak ujug-ujug ke Menteri Dalam Negeri".
Menurutnya juga, persetujuan pengunduran diri seorang gubernur atau wakil gubernur ini harus melewati berbagai macam prosedur. Pada akhirnya, yang berhak memutuskan pengunduran diri ini adalah DPRD setelah menerima surat pengunduran diri resmi dan menggelar Rapat Pimpinan. "Itu etika politiknya. Disetujui atau tidaknya pengunduran dirinya kembali pada DPRD DKI".[vi]
Pengamat Politik UI Boni Hargens, menyayangkan pengunduran diri Prijanto sebelum masa jabatannya berakhir. Boni memperkirakan, pengunduran diri Prijanto  terkait dengan rencananya untuk maju pada Pilkada Gubernur DKI Jakarta yang akan diselenggarakan pada Juli 2012 (Republika, 25/12/2011). Jika mencermati Peraturan Pemerintah (PP) No 49 tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 6 tahun 2005 tentang Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; sebetulnya cukup memberikan waktu yang longgar kepada pejabat daerah untuk menyelesaikan tanggung jawabnya meskipun ingin mencalonkan diri kembali. Pada pasal 40 PP No.49 tahun 2008 itu menyebutkan, bahwa pejabat yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan surat pengunduran diri ke Menteri Dalam Negeri pada 14 hari sebelum hari pendaftaran pencalonan ke KPU daerah.
Penilaian Peneliti LIPI Tri Ratnawati, pengunduran diri Prijanto dari jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta saat ini sebagai keputusan yang tidak profesional. Menurut dia, Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih masyarakat untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan hingga akhir masa jabatannya. "Meskipun Prijanto tidak menjelaskan alasan pengunduran dirinya, tapi sejumlah pihak menduga karena ingin maju pada Pilkada DKI Jakarta mendatang". Sebaiknya, Prijanto melaksanakan tugasnya hingga akhir masa jabatannya pada Oktober 2012. Perbedaan pandangan antara Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tidak bisa dijadikan dasar untuk mengundurkan diri, karena amanat rakyat jauh lebih penting. Jika terkait dengan keinginan untuk mencalonkan diri pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, pengunduran diri Prijanto ini tergolong lebih awal. Pengunduran diri pejabat daerah yang lebih awal seperti ini terjadi di beberapa daerah, yakni berpisahnya pasangan pemenang pilkada yang memimpin daerah menjelang pilkada berikutnya. Motifnya jelas yakni, masing-masing dari mereka ingin mencalonkan kembali menjadi orang nomor satu di daerah yang pernah dipimpinnya.[vii]

Evaluasi Peran Wakil Kepala Daerah
Kasus mundurnya Dicky Chandra dan Prijanto dari kursi Wakil Bupati Garut dan Wakil Gubernur DKI Jakarta merupakan contoh kecil persoalan ketidakharmonisan pasangan kepala daerah yang tersebar di Indonesia. Terhitung menurut Saldi Isra (26/12/11), kemungkinan hanya 2 hingga 3 persen kepala daerah yang bisa harmonis dan melanjutkan pemilihan periode berikutnya. Selebihnya, pasangan pimpinan daerah banyak yang  tidak cocok. Ada yang tahan sampai akhir, ada yang berpisah di tengah jalan. Untuk itu, peran wakil kepala daerah perlu dievaluasi.
Alasan pengunduran diri para wakil kepala daerah ditengarai berawal dari porsi tugas yang kurang seimbang di antara kepala dan wakil. Atau persoalan pembagian “kue politik“ sebagai pemimpin daerah. Selama ini sepertinya wakil hanya sebagai pemain cadangan. Jika pemain inti masih mampu bermain, pemain cadangan cukup duduk manis saja. Oleh karenanya, perlu ada aturan yang jelas tentang pembagian tugas dan kerja antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah. Amanat para pemilih sepatutnya lebih penting ketimbang mengedepankan kepentingan pribadi. Jabatan itu adalah kewajiban yang dibebankan rakyat dalam kurun waktu tertentu untuk menjalankan tugas pemerintahan.
Dalam UU Pemerintahan Daerah memang tidak terlalu menggambarkan secara rinci bagaimana sesungguhnya peran seorang wakil kepala daerah. Pada umumnya wakil kepala daerah hanya memiliki wewenang terbatas substitusi jika kepala daerah berhalangan. Karena yang diberikan mandat adalah kepala daerah. Sedangkan wakil kepala daerah bertanggung jawan kepada kepala daerah, sehingga akan efektif kalau diberi kewenangan oleh kepala daerah. Jika wewenang tersebut tidak didapatkan, terlebih lagi jika wakil kepala daerah menunjukkan rivalitas kepemimpinan, maka tugas wakil kepala daerah bisa jadi hanya berujung pada seremonial seperti “gunting pita” tanpa ada kewenangan pemerintahan yang berarti. Hal inilah yang sering memicu terjadi konflik antar-pasangan kepala daerah.
Ruang konflik antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah antara lain mengenai isi kewenangan sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan tugas. Berbagai tugas wakil kepala daerah berkaitan dengan kata kerja: membantu, memantau, mengkoordinasikan, menindaklanjuti, melaksanakan, mengupayakan, mengevaluasi, memberikan saran memerlukan kewenangan untuk melaksanakannya. Tanpa ada batas kewenangan yang jelas. berbagai tugas tersebut akan menjadi kabur dalam implementasi dan tanggungjawabnya. Kewenangan tersebut terutama berkaitan dengan aktivitas untuk memutuskan sesuatu. Apabila keputusan yang telah diambil oleh wakil kepala daerah dimentahkan kembali oleh kepala daerah, maka wibawa wakil kepala daerah akan pudar.
Meskipun kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu paket, tetap hubungan kerjanya bersifat hierarkhis, karena dalam satu organisasi hanya ada satu pimpinan tertinggi.
Pasal 26
(1)    Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
  • membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
  • membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
  • memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
  • memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;
  • memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah;
  • melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan
  • melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan. (2)    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.
    (3)    Wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya.
Secara umum fenomena pengunduran diri ini sepertinya tidak merugikan masyarakat, karena porsi kerja dan wewenang wakil kepala daerah tidak besar. Sehingga roda pemerintah dapat berjalan sebagaimana biasa. Namun hal tersebut akan membuat situasi politik tidak stabil. Terlebih lagi bagi pasangan yang akhirnya menjabat berasal dari gabungan partai politik pendukungnya kala pemilukada yang lalu.
Pembagian tugas, wewenang dan kewajiban antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah harus disadari merupakan wilayah yang rawan konflik, apabila tidak diatur secara tegas dan rinci dalam ketentuan perundang-undangan yang cukup kuat kedudukan hukumnya.
Ada tiga model yang dapat digunakan yakni:[viii]
1)   Diatur secara rinci dalam UU atau PP
   Pola ini memiliki kelebihan karena memberikan kepastian hukum mengenai apa yang menjadi tugas, wewenang dan kewajiban wakil kepala daerah, sehingga memperkecil peluang terjadinya konflik.
  Pola ini memiliki kelemahan yakni kaku, sehingga menutup adanya diskresi dari kepala daerah untuk memberikan tugas, wewenang dan kewajiban yang lebih luas kepada wakil kepala daerah. Pola ini juga tidak memperhatikan perbedaan karakteristik masing-masing daerah yang seharusnya diikuti dengan isi pembagian tugas, wewenang dan kewajiban antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah secara berbeda.
  UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan pola ini, tetapi tidak memberi perintah untuk menjabarkannya lebih lanjut dalam Peraturan Kepala Daerah (Perkada).
2) Diatur prinsip-prinsipnya di dalam UU atau PP, kemudian dijabarkan lebih lanjut dengan peraturan yang lebih rendah tingkatannya seperti Peraturan Kepala Daerah.•  Pola ini menggunakan pendekatan eklektif, yakni menggabungkan berbagai keunggulan dari berbagai pendekatan. Melalui pola ini, maka prinsip-prinsip pembagian tugas,wewenang, kewajiban dan tanggung jawab antara kepala daerah dengan wakilnya ditetapkan secara limitatif dalam UU atau PP. Dengan demikian ada pedoman yang jelas bagi kedua belah pihak.
  UU atau PP tersebut kemudian memberi mandat kepada kepala daerah untuk menjabarkan lebih lanjut mengenai isi tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab wakil kepala daerah sesuai situasi dan kondisi masing-masing daerah serta komitmen awal pada saat pencalonan dalam pilkada. Penjabarannya diatur lebih lanjut melalui Perkada.
  Meskipun wakil kepala daerah tidak mengambil keputusan secara langsung mengenai hal-hal yang bersifat strategis, wakil kepala daerah harus memiliki kemampuan mempengaruhi kepala daerah untuk membuat keputusan sesuai gagasannya.
3)  Tidak diatur dalam UU atau PP, tetapi lebih merupakan “gentlemen agreement” diantara dua orang yang dibuat pada saat adanya kesepakatan untuk maju bersama dalam Pilkada.
  Pola ketiga ini memberikan kebebasan sepenuhnya pada kepala dan wakil kepala daerah dalam membagi tugas, wewenang, kewajiban dan tanggungjawabnya sesuai kesepakatan awal pada saat pencalonan.
Kunci keberhasilan pola ini tergantung pada kesungguhan dari masing-masing pihak untuk memegang teguh komitmen yang masing sudah dibuat. Pola ini sangat cocok untuk digunakan bagi orang-orang yang sudah matang berpolitik dan sudah dikenal luas karakternya.
  Pola ketiga ini memang rawan konflik, karena posisi kekuasaan amat menggiurkan, terlebih jika berkaitan dengan anggaran.

Wacana Pemda Tanpa Wakil Kepala Daerah
Dari fenomena seperti ini, ada wacana untuk meniadakan wakil kepala daerah dalam pemerintahan daerah. Walaupun wacana ini nampak tidak populer terutama akan menimbulkan instabilitas politik bagi kalangan partai politik, akan  tetapi kebijakan tersebut tentunya dapat ditinjau kembali.
Perlu tidaknya wakil kepala daerah dapat dilihat pula dari cakupan wilayah pemerintahan. Bagi wilayah yang luas dengan aktivitas tinggi, peranan wakil kepala daerah sangat penting untuk membantu kelancaran roda pemerintahan daerah. Sedangkan wilayah kecil mungkin posisi wakil kepala daerah tidak terlalu diperlukan. Namun yang terjadi saat ini baik wilayah kecil maupun besar memiliki wakil kepala daerah. Ironisnya, wilayah pemekaran yang belum ditentukan posisi dana APBD juga menempatkan wakil kepala daerah. Hal ini tentunya akan memperbanyak pos anggaran daerah.[ix]
Hingga tampaknya posisi wakil kepala daerah saat ini perlu ditinjau kembali. Terlebih banyak kejadian, hubungan kepala daerah dan wakilnya hanya harmonis ketika masa kampanye. Setelah terpilih, hubungannya mulai renggang bahkan terkesan rivalitas. Peranan wakil kepala daerah selama ini dirasakan kurang signifikan. Kalaupun ada wakil kepala daerah yang menonjol hanya sedikit. Karena itu dalam revisi UU 32 Tahun 2004, DPR dan pemerintah tengah merumuskan kebijakan tersebut.
Posisi yang terkesan penting dan strategis dari jabatan wakil kepala daerah dalam kerangka manajemen pemerintahan sebetulnya berawal dari respon atas demokrasi yang berlebihan. Hingga menyakini bahwa kehadiran pos jabatan wakil kepala daerah melalui pemilukada langsung adalah pilihan yang dianggap lebih demokratis dan lebih pas dengan semangat otonomi daerah. Terlebih lagi beberapa paket pasangan calon pimpinan pemerintahan daerah seakan hanya sebagai simbol untuk menarik dukungan suara dan menjadi “sumber daya” ekonomi politik bagi partai. Namun dalam perjalanannya rasionalitas pertimbangan kebutuhan dari aspek tata kelola pemerintahan daerah tidak terlalu diperhatikan.
Bertolak dari berbagai tinjauan sebelumnya, ditambah dengan kebutuhan melahirkan kepemimpinan lokal yang solid, efesiensi anggaran daerah, mengurangi beban biaya sosial, politik dan ekonomi dalam proses Pemilukada, mungkin akan lebih tepat dan produktif jika pilihannya adalah menghapus keseluruhan pos jabatan wakil kepala daerah atau menghapus pos wakil kepala daerah di wilayah kecil saja. Hal ini tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi maupun konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4). Dengan demikian tugas-tugas fungsionalnya dapat dilimpahkan kepada Sekretaris Daerah. Perihal teknis regulasi terkait dapat didiskusikan lebih jauh oleh Pemerintah dan DPR kelak pada saat pembahasan RUU Pemilukada.(*)

Oktober 2012


[i] Kata Dicky Chandra usai bertemu Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di rumah dinas Gubernur, Gedung Pakuan Bandung, Jawa Barat, Rabu 7 September 2011. (http://nasional.vivanews.com/news/read/245701-gubernur-diminta-jadi-mediator-aceng-dicky) 
[ii] UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 
[iii] UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 

Tinjauan Peradilan Anak atas Kenakalan Anak



Pendahuluan
AAL, seorang pelajar SMKN 5 Palu, Sulawesi Tengah diajukan ke pengadilan. Dirinya terancam hukuman 5 tahun penjara. Perkaranya sepele, AAL dituding mencuri sandal jepit Briptu Ahmad Rusdi. Ironis, sebab ini menandakan “hukum tajam ke atas tapi tumpul ke bawah”.
Akibat kasus ini, di sejumlah daerah berdiri posko pengumpulan sandal jepit sebagai bentuk protes atas kasus yang menimpa AAL. Kasus ini bahkan diberitakan sejumlah media internasional. Misalnya situs The News Zealand Herald (4/1), memuat berita berjudul, "Indonesia's new symbol for injustice: Sandals". Berita senada juga dimuat Washington Post, Boston Globe, Hindustan Time, BBC.com, dan CTV Winnipeg. Bahkan Aljazeera menulis pandangannya, "Indonesia telah menempuh perjalanan luar biasa menuju demokrasi sejak menumbangkan diktator Soeharto pada 1998, namun sistem peradilan tetap menjadi titik lemah.” Mereka juga menyoroti soal diskriminasi hukum yang terjadi di Indonesia. Lalu bagaimanakah sebaiknya penyikapan hukuman atas kenakalan anak yang umumnya terjadi di Indonesia?

Juvenile Delinquency
Kenakalan anak (remaja) biasa disebut dengan istilah juvenile. Berasal dari bahasa latin “juvenilis”, yang artinya anak-anak, anak muda, sifat khas pada periode remaja. Sedangkan delinquency berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, dan lain sebagainya. menurut Kartono[i]Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada remaja Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. 
Jensen[ii] membagi kenakalan remaja menjadi empat aspek yaitu

  • Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.
  • Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
  • Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, dan hubungan seks bebas.
  • Kenakalan yang melawan status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, kabur dari rumah, dan membantah perintah orang tua.

Sarwono[iii], mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun. Jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sanksi hukum. Pada masa remaja terutama remaja awal merupakan fase dimana teman sebaya sangat penting baginya. Remaja sering membentuk kelompok yang lebih dikenal dengan sebutan gang (baca genk). Idealisme mereka sangat kuat dan identitas diri mulai terbentuk dengan emosi yang labil. 
Timbulnya kenakalan remaja kadang bukan karena murni dari remaja itu sendiri. Tetapi kenakalan itu merupakan efek samping dari hal-hal yang tidak dapat ditanggulangi oleh remaja dalam keluarganya. Bahkan orang tua itu sendiripun tidak mampu mengatasinya. Akibatnya remaja menjadi korban keadaan keluarganya[iv].

Tindakan Hukum atas Kenakalan Anak
Kenakalan anak di Indonesia tampaknya masih menjadi pemberitaan aktual yang memiliki ciri tersendiri di setiap zamannya. Gejala tersebut mendorong pentingnya pemahaman proporsional terhadap perilaku kenakalan anak, terutama dalam usaha penanggulangannya yang selama ini terjadi di masyarakat.
Perilaku kenakalan anak yang kerap terjadi di usianya dapat berhubungan dengan kenakalan yang menyebabkan tindak kriminalitas. Namun, diperlukan penanggulangan khusus mengenai peraturan tentang anak. Hal ini dikarenakan anak memiliki karakteristik dan mental psikologis yang perlu penanganan tepat. Kejahatan yang dilakukan seorang anak yang ditindak secara hukum jangan sampai menjadi bumerang bagi masa depan anak. Aspek pembinaan dan perlindungan hak anak harus diformulasikan dalam aturan khusus dalam menindak anak yang melakukan kejahatan.
Penanggulangan kenakalan anak melalui jalur hukum adalah cermin sifat simptomatik daripada kausatif. Praktik pendekatan hukum konvensional cenderung merugikan masa depan anak melalui stigmatisasi terhadap anak. Seharusnya kenakalan anak melalui usaha yang mengedepankan ‘kepentingan terbaik anak’, tanpa kehilangan maknanya sebagai upaya pengendalian terhadap terjadinya gejala penyimpangan di masyarakat.[v]

Perlindungan Anak
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik dan social. Anak harus dibantu orang lain dalam melindungi dirinya. Mengingat situasi dan kondisinya pelaksanaan peradilan pidana anak dapat menimbulkan kerugian mental, fisik dan sosial. Perlindungan anak dalam hal ini perlindungan hukum/yuridis (legal protection). Pentingnya perlindungan hukum terhadap anak berhadapan dengan hukum (ABH) adalah agar terpenuhi haknya sebagai generasi penerus dan demi masa depan bangsa Indonesia.
Pemerintah Indonesia terikat yuridis dan politis untuk melakukan langkah strategis menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak anak tanpa diskriminasi. Hal itu diwujudkan melalui Gerakan Nasional Perlindungan Anak yang dicanangkan oleh Presiden pada 23 Juli 1997. Kemudian dilanjutkan pengesahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menjadi momentum keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan terbaik bagi anak. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak:
Penangkapan penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.
Dalam peraturan internasional dinyatakan penangkapan, penahanan dan pemenjaraan harus menjadi langkah terakhir. Konsep ini tercantum dalam Pasal 37 huruf b Konvensi Hak-hak Anak. “Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus seseuai dengan hukum dan hanya diterapakan sebagai upaya terakhir untuk jangka waktu sesingkat-singkatnya”.
Hakikatnya, perlindungan bagi ABH  dapat dilakukan dengan baik bila perumus kebijakan, kesiapan SDM. sarana prasarana dan  budaya masyarakat mendukungnya. 

Keadilan Restoratif
Keadilan restoratif (restorative justice system) termasuk relatif baru di Indonesia. Namun demikian, keadilan restoratif memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi masalah kenakalan anak. Keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan untuk keadilan yang berfokus pada kebutuhan korban, pelaku, serta masyarakat yang terlibat, bukan berprinsip menghukum pelaku. Korban mengambil peran aktif dalam proses, sementara pelaku didorong untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka, "untuk memperbaiki hal-hal yang membahayakan mereka, dilakukan-dengan cara meminta maaf, mengembalikan uang yang dicuri, atau pelayanan masyarakat".[vi]
Keadilan restoratif melibatkan kedua pihak yaitu korban dan pelaku dan berfokus pada kebutuhan pribadi mereka. Selain itu, juga memberikan suatu bentuk bantuan bagi pelaku untuk menghindari pelanggaran di masa depan. Hal ini didasarkan pada sebuah teori keadilan yang menganggap kejahatan dan pelanggaran menjadi pelanggaran terhadap individu atau masyarakat, bukan negara. Keadilan restoratif yang mendorong dialog korban dan pelaku sehingga menunjukkan tingkat tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.
Keadilan restoratif merupakan salah satu perubahan paradigma yang memberikan solusi terhadap penanganan masalah kenakalan anak, yang menganggap bahwa sistem peradilan pidana tidak memenuhi keadilan substantif. Oleh sebab itu keadilan restoratif perlu menjadi masukan penanganan masalah kenakalan anak. Karena pendekatan ini melibatkan semua pihak dalam proses penyelesaian, mengedepankan musyawarah dengan tujuan memulihkan segala kerugian yang diakibatkan oleh kenakalan anak. Selain itu diharapkan perbaikan moral terjadi sehingga anak tidak mengulangi perbuatannya, dan menghindari pemenjaraan yang dapat mempengaruhi perkembangan anak secara fisik, mental, serta kejiwaannya.[vii]
Kekhawatiran bahwa dengan keadilan restoratif pelaku tidak mendapat nilai pembelajaran, hal ini berangkat dari kebisaaan dan pemahaman bahwa hukuman mesti memenjarakan. Kunci pendekatan keadilan restoratif adalah membangun hubungan langsung dan nyata antara kejahatan dengan respon. Dalam bahasa teknis bisa dikatakan bahwa yang menjadi ukuran bukanlah hukumannya, melainkan bagaimana hukuman itu disepakati para pihak serta proses pengawasan terhadap hukuman itu. Dengan demikian, yang menjadi dasar pendekatan ini bukanlah pelaku jera atas perbuatannya, melainkan terbangunnya kesadaran untuk bertanggungjawab atas perbuatannya dan kemampuan untuk mengendalikan prilaku di masa yang akan datang. Ini berbeda dengan penindakan retributif yang mengandalkan efek jera. Prakteknya memang anak-anak jera, tapi jeranya anak-anak lebih kepada masuk penjara dan bukan untuk tidak melakukan perbuatan tindak kriminal. Sehingga yang dituntut adalah kecerdasan atau kelihaian melakukan tindak kriminal tanpa pernah tertangkap.[viii]

Biro HALT[ix]
Pada tahun 1981 di Rotterdam didirikan Biro HALT (Het Alternatief), biro ini didirikan pertama kali untuk menanggulangi vandalisme di kalangan anak-anak. Anak yang mengakui kesalahan dan merasa menyesal dapat memilih anatara penanganan secara konvensional oleh polisi atau berperan serta dalam proyek HALT. Anak yang mengikuti program HALT diberikan tugas selama waktu luangnya atau membayar ganti rugi yang disebabkan oleh perbuatannya.
Adapula contoh bentuk transaksional antara kegiatan Biro HALT dengan polisi, dalam penanganan kasus pencurian di Mall yang dilakukan oleh seorang anak:
Kasusnya menyangkut seorang anak yang bernama B mencuri barang di Mall. Perbuatan B diketahui petugas keamanan Mall bersangkutan, dan ditangkap, serta diserahkan kepada polisi. Atas dasar pemahaman polisi, perbuatan B memenuhi syarat untuk diikutsertakan dalam program HALT. Transaksi yang ditawarkan oleh polisi diterima oleh B dan orang tuanya. Petugas HALT kemudian memanggil B beserta orang tuanya, pemilik Mall (korban) dan polisi. Perjanjian yang dihadiri pihak-pihak itu kemudian secara bersama-sama merundingkan sanksi yang harus dijatuhkan pada B. Kesepakatan yang terjadi antara anak, orang tua anak, dan korban, petugas HALT, dan polisi adalah: B harus mengembalikan barang yang telah dicurinya. Untuk menebus kesalahannya B harus membersihkan lantai Mall selama 2 bulan, yang pengerjaannya dilakukan tiap akhir minggu selama 2 jam, yang waktunya ditentukan sendiri oleh B, sesuai waktu luangnya. Pada akhirnya B dilaporkan telah menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tidak ada lagi penuntutan pidana atas diri B.

Penutup
Perkembangan terakhir AAL akhirnya divonis bersalah, dia memang mencuri tapi persidangan tuduhan itu tidak dapat dibuktikan dengan fakta barang bukti yang sesuai. Walaupun akhirnya ia dihukum dengan dikembalikan pada orang tuanya. Tapi stigma ‘pencuri’ jelas akan melekat pada dirinya. Tentu saja ini akan berimplikasi pada labelling masyarakat dan sikap pribadi terhadap teman sebayanya. Putusan hakim tunggal RFT mendapat respon dari berbagai pihak. Ada yang mengatakan putusan tersebut kontroversial karena fakta persidangan sesungguhnya tidak terbukti. Rangkaian peristiwa sejak 27 Mei 2010 di mana AAL pada saat itu masih berumur 14 tahun, hingga seteru antara orang tuanya dengan pihak yang menyebut diri sebagai korban, Briptu Akhmad Rusdi, luput dari pertimbangan hukum hakim. Barang bukti berupa sandal jepit milik korban yang dicuri yaitu merek Eiger no. 43, sementara barang bukti di persidangan yang diajukan JPU yaitu sandal merek Ando no. 9,5.
Dalam kasus AAL pemerintah selayaknya merujuk UU Perlindungan Anak sebagai salah dasar hukum. Karena pada hakikatnya anak memerlukan perlindungan orang dewasa dan menghindari stigma negatif yang akan membekas kepadanya. Dalam kasus lain dalam pidana anak yang akhirnya berujung pada memenjarakan anak, hendaknya perlu ditumbuhkan kesadaran, bahwa penjara bukan solusi yang dapat memberikan efek jera atas tindakan anak. Justru dalam beberapa aspek, sikap pribadi menjadi lebih negatif selepas keluar penjara.
Model peradilan anak restoratif berangkat dari asumsi bahwa perilaku kenakalan anak adalah perilaku yang merugikan korban dan masyarakat. Tanggapan peradilan restoratif terarah pada pembangkitan rasa tanggungjawab anak dengan cara perbaikan kerugian dan penyembuhan luka. Di masa mendatang masyarakat pun diharapkan berperan aktif ‘mendidik’ anak untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya baik terhadap korban, keluarganya, masyarakat pada umumnya.
Keadilan restoratif dapat dijadikan sebagai alternatif mengatasi kenakalan anak dan pihak yang dirugikan atas penyimpangan yang dilakukan oleh anak. Untuk itu pemerintah melalui Depkumham perlu merintis penyelesaian model ini yang sebenarnya dapat dilihat contohnya di negara lain seperti Belanda (negara yang menciptakan KUHP bagi Indonesia), Australia, Selandia Baru, berbagai negara bagian di Amerika Serikat dan Jepang.(*)

 29 Maret 2012

[i] Kartono, K. 2006. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
[ii] Dalam Sarwono, S. W. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta: Radja Grafindo Persada.
[iii] Ibid.
[iv] Soekanto, 2004.
[v] Hadisuprapto, Paulus. 2006. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, dalam http://eprints.undip.ac.id/336/1/Paulus_Hadisuprapto.pdf
[vii] http://faturohmanalbantani.blogspot.com/p/pendekatan-restorative-justice-sebegai.html
[viii] Ibid
[ix] Op. cit, Paulus hal 40-41.