Pages

September 11, 2013

Yuk Menyulam Pita

Yuhuuuuu.... Assalamu'alaikum, 

Hari ini 5 Mei 2013, saya diajarkan oleh murid ngaji saya keterampilan sulam pita. Memang tak asing kan, sekarang kerudung bahan jilbab paris banyak yang bersulam pita. Jika polos harganya dari 10-20 ribu. Jika bersulam harganya bisa lebih dari 50 ribu.

Tentunya sudah lama sekali saya tak pegang jarung sulam. Terakhir kayaknya SMP deh pas nyulam pakai benang sulam bikin taplak meja dan saputangan. Terus dilanjut di rumah bikin kerajinan kain strimin yang tak kunjung selesai hingga kini. Kayaknya saya memang tak bakat memegang jarum. Nah, sekarang harus ketemu lagi dengan si jarum sulam tapi benangnya diisi pita kain.

Awalnya kami inisiatif untuk variasi program ngaji dengan sharing keterampilan, supaya tambah wawasan kan. Karena ilmu bisa datang dari mana aja, dan ibadah dalam Islam tak sekadar ibadah sholat, puasa, zakat, haji. Tapi semua aktivitas yang baik dan ditujukan untuk niat karena Allah bisa dihitung pahala di sisi Allah. Jadilah kami mengambil keterampilan sulam untuk awalan. Hal ini dikarenakan teman kita (Ita) kerudung parisnya sulam pita semua, cantik nian dan ternyata dia sulam sendiri. Kalau ditotal bisa 3 jam sehari. Cepat sekali, rapih, tampak seperti produk yang dipajang tenant di butik hijabers. Tentunya kita mau tau kan caranya, walau untuk menyelesaikannya bisa kapan-kapan. hehehe namanya juga emak-emak urusan sehari-hari aja udah rempong.


Nah karena gak ada persiapan bahan, jadinya kerudung Bu Yuli jadi 'korban', hihi. ternyata rumit nian. Ita nulis polanya dulu pakai karbon (nah barang ini juga lama sekali saya tak lihat), simbol bunganya banyak. Hanya orang-orang yang paham deh yang ngerti cara nyulamnya. Saya benar-benar kaku nih pakai benang. Akhirnya setelah coba beberapa tips dan bentuk bunga, pekan depan kita persiapkan lagi satu pindanaan satu orang, jadi membuat bross/sapu tangan.




Tanggal 12 Mei 2013 kami kembali mengerjakan sulam pita, alhamdulillah sedikit lebih lancar. Kerudung lama bu Yuli menjadi 'korban' percobaan lagi hehe. Akhirnya jadi juga setelah saya selesaikan berhari-hari di rumah. Saya juga sekalian minta tolong gambarkan pola bunga untuk 2 jilbab paris saya yang polos, nanti bertekad menuntaskan sendiri. Walau sedikit lupa-lupa caranya alhamdulillah jadi juga tuh 2 kerudung paris bersulam pita dari hasil tangan sendiri, yeaaay.

Jadi intinya sih, setiap perempuan tuh punya keahlian yang dimiliki dan bisa dikembangan untuk menghasilkan uang. haha. Ini salah satu langkah mompreneur loh, karena kerja kantoran di luar rumah tak semua perempuan bisa menjalaninya. Sebut saja banyak kok orang yang berbisnis dan akhirnya omsetnya banyak tanpa meninggalkan rumah. Asal ada niat dan kemauan, pasti ada jalan. Tapi buat saya kayaknya this is not my passion deh. haha nyerah duluan. Nanti aja deh menjahit untuk keperluan bocils aja seperti popok clodi, atau baju anak-anak. Padahal dulu waktu SD saya iseng-iseng jualan ke teman-teman kunciran rambut dari kain perca yang saya jahit sendiri. Tapi sekarang kayaknya mendingan di depan kompor dari pada di depan mesin jahit. (*)

June 29, 2013

Wanita di Panggung Politik

Indonesia negeri elok nan permai, berbagai varietas flora fauna tumbuh di sini. Belum lagi dengan sumber daya alam yang langka maupun sumber daya alam terbarukan. Sukubangsa yang yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dengan beraneka budaya dan warna kulit. Betapa pemandangan indah yang patut disyukuri bisa hidup di negara ini. Namun dari sekian banyak pesona materil yang dimiliki negeri ini, Indonesia juga memiliki para sumber daya manusia yang hebat. Mereka adalah para generasi penerus yang akan meneruskan tongkat estafet memimpin negeri ini. Siapapun anak bangsanya, tidak hanya pria tapi juga ada para wanita.

Ranah Domestik vs Publik
Dalam hal ini saya tidak ingin mengangkat debat antara wanita karir atau wanita di rumah. Namun yang sangat disayangkan perdebatan itu kerapkali masih muncul dalam perkembangan dan pembahasan dewasa ini. Sangatlah disayangkan ketika para wanita sendiri bahkan tidak memuji perannya, sekecil apapun itu.
Bahkan sekarang dalam perkembangannya ada istilah stay at home mother dan working mom. Ibu di rumah dan ibu bekerja, di sosial media kadang ada saja perdebatan soal ini. Sebagian golongan ada yang mencibir golongan yang lain. Mengapa hal tersebut harus terjadi, bukankah wanita di rumah maupun di kantor tetap saja berperan sebagai ibu. Mengapa wanita bekerja dianggap menelantarkan anak, lalu mengapa ibu yang di KTP nya bertuliskan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga seakan tidak percaya diri dengan statusnya. Debat seperti ini tidak akan ada habisnya. Hal terpenting dari itu semua adalah bagaimana agar masing-masing wanita tersebut bisa menjalankan statusnya dengan seimbang antara ranah domestik dan publiknya. Keluarga terkendali semua merasa bahagia.

Feminisme Barat vs Patriarki Timur
Bagi negara-negara Barat yang paham dan menggerakan kesetaraan gender, isu feminisme sangat dikedepankan. Namun feminisme juga beragam modelnya, ada yang liberal ada yang tetap berpegang teguh pada kodrat sebagai seorang wanita. Perkembangan pada hari ini, kebebasan hak bersuara dan politik dapat dirasakan juga oleh para wanita Indonesia. Walaupun kadang di sisi lain dalam penerapannya tetap saja wanita sering terbentur pada masalah status dan peran domestik dan publik.
Dalam lingkup kehidupan bernegara, mengutip jurnal mengenai kondisi politisi wanita di India oleh Sushma Swaraj (anggota parlemen): Sangat sulit bagi seorang wanita untuk memutuskan masuk dalam dunia politik. Sekali ia memutuskan pikirannya, maka ia harus mempersiapkan suami, anak, dan keluarganya. Sekali itu pula ia menyingkap semua kendala dan melamar menjadi kandidat partai, lantas calon laki-laki menentangnya ketika ia mengangkat kisah mengenainya. Dan bagaimanapun, ketika namanya masuk dalam partai, mereka tidak menseleksi namanya karena mereka takut kehilangan kursi”.
Beberapa pahlawan wanita Indonesia juga pernah hadir dalam kehidupan bernegara. Sebut saja Malahayati dan Cut Nyak Dien dari Aceh, Dewi Sartika dari Jawa Barat, juga RA Kartini dari Jawa Tengah. Di masa itu mungkin paham feminisme belum meluas di Indonesia, namun mereka bisa berjuang tanpa batas merebut kemerdekaan, dengan terjun langsung ke medan perang, mendirikan sekolah, atau menulis surat tukar pikiran dengan nona Barat. Padahal kita pun tahu budaya patriarki terlebih di tanah Jawa melekat erat dengan kehidupan wanita. Wanita identik dengan insan penurut, berbagai atribut rumah tangga, serta pekerjaan dari sumur, dapur, dan kelambu. Tapi fakta perjuangan para pahlawan itu mematahkan mitos tersebut. Mereka menunjukkan bahwa wanita bisa berkiprah dan berkuasa di luar lingkup ‘istananya’.

Partisipasi Politik Wanita
Perkembangan politik Indonesia hari ini memasuki babak reformasi, pilihan untuk menempuh pemerintahan dengan sistem demokrasi melahirkan banyak konsekuensi sikap yang harus diambil dalam mengatur kebijakan negara. Diterapkannya pemilihan umum (pemilu) sebagai praktik demokrasi prosedural, telah membuka harapan baru bagi keterwakilan wanita yang direpresentasikan melalui lembaga legislatif di parlemen.
Di dunia, tradisi keterwakilan wanita di parlemen sudah banyak diterapkan khususnya di negara bagian utara seperti Skandinavia serta di negara Barat seperti Eropa dan Amerika Serikat. Namun, di Indonesia hal tersebut justru belum menjadi tradisi. Keterwakilan wanita di Indonesia berada dalam peringkat ke-86 setelah Azerbaijan (berdasarkan data IPU per 30 November 2007).
Saat ini Undang-Undang Partai Politik telah mengatur ketetapan kuota 30 persen bagi wanita. Bentuk diskriminasi positif ini merupakan dorongan berupa tindakan khusus (affirmative action), sehingga dapat menjadi awal yang seimbang bagi wanita untuk dapat berkompetesi dengan kandidat pria di partai maupun parlemen. Tindakan ini bertujuan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Kompetisi yang dimaksud sesungguhnya bukan dalam rangka memperebutkan kekuasaan di parlemen, tetapi lebih kepada penguatan peran wanita demi terwujudnya kepentingan wanita di dalam lingkup nasional, salah satunya dalam pembahasan anggaran yang memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.
Tahukah kita yang dimaksud dengan anggaran sudut pandang gender adalah implementasi program anggaran negara berkeadilan gender. Betapa tidak sedikit kondisi wanita Indonesia yang jauh dari kesejahteraan hidup, fisik dan batinnya. Mungkin bisa jadi budaya patriarki juga memiliki andil dalam pewarisan sistem tradisi ini. Dalam perkembangan pendidikan dan kesadaran berpolitik dari pejabat pemerintah terutama wanita yang berada di parlemen diharapkan dapat memfasilitasi, mempromosikan, dan menjamin implementasi anggaran untuk kesejahteraan wanita Indonesia di semua sektor kehidupan. Anggaran gender bertujuan membantu mengatasi kesenjangan anggaran pemerintah untuk tujuan pembangunan yang bersifat ekonomi dan sosial bagi wanita. Metode ini adalah metode yang paling sering digunakan untuk menilai apakah suatu anggaran berpihak kepada wanita atau tidak.
Kembali pada munculnya wajah wanita di panggung politik, mengapa wanita harus turut berpartisipasi, ikut memilih ataupun dipilih. Tentunya hal ini bisa menjadi titik tolak untuk mengingatkan kita kembali, bahwa betapa banyak pria hebat pemimpin bangsa pasti terdapat wanita hebat di sampingnya. Seperti ibu Fatmawati sang istri proklamator, atau ibu Ainun Habibie yang kisah hidupnya dibukukan oleh suaminya, dibaca banyak orang diterjemahkan dalam bahasa Jerman, bahkan sudah difilmkan. Indah sekali jika mengingat semua tokoh wanita hebat dalam negeri ini. Dengan demikian kita kembali disadarkan betapa negara Indonesia memiliki sumber daya manusia yang unggul yaitu wanita sebagai ‘tiang negara’.
Dalam partisipasi politik untuk dipilih dalam pemilu, kita bisa lihat di lapangan betapa banyak artis yang setelah terkenal kemudian menjadi vote getter untuk partainya, sebut saja Wanda Hamidah, Nurul Arifin, Angelina Sondakh, Rieke Diah Pitaloka, dan politisi wanita lainnya yang memiliki pendidikan tinggi dan aktif dalam berbagai gerakan seperti Eva Kusuma Sundari dan Yoyoh Yusroh. Walaupun di kemudian hari ada kasus hukum, politik, atau masalah keluarga yang kemudian menimpa mereka, tapi itulah kondisi riil wanita bangsa ini. Bangsa Indonesia memiliki sesungguhnya memiliki potensi wanita hebat di ranah politik. Kali ini saya akan membahas satu tokoh anggota parlemen Indonesia yang sudah wafat beberapa tahun lalu. Beliau adalah ibu Yoyoh Yusroh, ia masuk ke dalam partai dan kemudian berhasil masuk ke dalam parlemen selama dua periode.

Hj. Yoyoh Yusroh (Almh), legislator RI 2 periode sejak 2004
Biografinya sudah ada yang membukukan, ia disebut sebagai salah satu srikandi Indonesia. Dari hasil penelusuran internet dan sedikit pengetahuan saya tentang sosok Yoyoh Yusroh semasa hidupnya, ia tampil terlihat sederhana dan bersahaja, keberadaannya telah memberi nuansa baru di ruang rapat DPR sejak pemilu 1999. Dia pernah menjadi salah satu dari ke-4 orang pimpinan Komisi VIII DPR yang membidangi masalah agama, sosial dan pemberdayaan wanita. Sejak remaja, dirinya sudah aktif mengikuti organisasi seperti pelajar Islam Indonesia, tahun 1980an, bahkan juga pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

Ibu dari 13 anak ini dapat saya katakan berhasil menuai prestasi membesarkan anak-anaknya dengan ketegasan dan komunikasi dialogis. Ketika jam terbangnya semakin tinggi beberapa organisasi diikuti, prestasi dan penghargaan internasional diraih, masuk partai politik, menghadiri banyak rapat, datang ke gedung parlemen, tentunya sesuatu yang tidak mudah untuk dijalani oleh seorang wanita terlebih lagi dia adalah seorang ibu. Namun faktanya hal tersebut bisa dia jalankan, berbagai amanah pekerjaan pernah diembannya, hingga akhir hidupnya. Keseimbangan diri antara keluarga dan aktivitas negara, tentunya hanya bisa dijalani oleh wanita Indonesia yang hebat.
Kiprahnya pun tak hanya di dalam negeri. Di luar negeri contohnya, Yoyoh Yusroh sering menjadi duta Indonesia dalam mengirimkan bantuan ke Gaza Palestina. Soal ini saya pernah mendengar ceritanya langsung dari seorang ibu yang menjadi ‘supir’ dalam ekspedisi bersama Yoyoh Yusroh, bahkan ibu Pipik (istri Ustd Jefry alm) juga ikut dalam ekspedisi ini walau akhirnya kembali lebih awal sebelum misi selesai. Yoyoh Yusroh beserta tim menunggu di perbatasan antara Palestina dan Mesir untuk masuk ke Gaza. Menunggu beberapa hari yang tak pasti, namun antara hidup dan mati. Betapa tidak situasi sedang genting, dan senapan tentara sudah diarahkan pada tim ekspedisi relawan tersebut. Karena ibu Yoyoh atas nama utusan parlemen, proses masuk mendapatkan pengakuan. Jika para pria yang dikirim ke sana mungkin saya tidak terlalu takjub, tapi ini tim relawan yang isinya wanita. Para wanita tangguh, menyetir mobil yang diciptakan untuk medan berat, membawa barang kebutuhan para wanita di Gaza, makanan pokok, kebutuhan rumah tangga, dan kebutuhan manusia pada umumnya. Betapa hebatnya Indonesia memiliki duta-duta bangsa seperti demikian. Inilah contoh salah satu wajah wanita Indonesia di bidang politik.
Mengapa wajah seperti ibu Yoyoh, Wanda Hamidah, Nurul Arifin, Puan Maharani, Eva Kusuma Sundari, Rieke Diah Pitaloka, atau bahkan Angelina Sondakh sang Puteri Indonesia harus hadir dalam panggung politik? Seberapa penting sebenarnya keberadaan mereka. Apakah hanya bertujuan menghiasi dunia politik, memenuhi syarat demokrasi kuota 30 persen. Sebagai hiasan ibarat puspa yang bermekaran di tanah Indonesia. Tampaknya tidak demikian tujuannya.
Tujuan hadirnya wajah wanita di panggung politik dan berhasil menembus kursi parlemen diharapkan dapat mengakomodir aspirasi yang datang dari golongannya dengan memperhatikan kemanfaatan dan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Tanggung jawab yang berat pastinya, dan tidak semua wanita memiliki peluang yang sama untuk dipilih dalam kontes sistem demokrasi ini.
Dalam kerangka demokrasi, peningkatan jumlah representasi wanita dalam lembaga politik formal hanya dapat dilakukan melalui jalur parpol. Partai politik dianggap merupakan jalur yang paling efektif dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan wanita secara signifikan. Partai juga merupakan satu-satunya organisasi politik yang secara sah dapat ikut dalam pemilu. Sebagai organisasi politik yang mewakili aspirasi rakyat, partai diharapkan juga dapat mengangkat aspirasi dan kepentingan wanita. Oleh karenanya kehadiran wajah wanita di panggung politik, sebagai anggota partai, sebagai legislator, sebagai menteri, atau bahkan sebagai presiden merupakan salah satu prestasi wanita Indonesia yang patut dibanggakan. Mereka bisa keluar rumah, mempersiapkan keluarganya ketika ditinggalkan, memikirkan rakyat Indonesia, dan memikirkan bangsanya tanpa menegasikan status dan kodratnya sebagai seorang wanita.

Licia Ronzulli is an Italian member of the European Parliament 
Pada akhirnya wajah wanita di panggung politik merupakan keniscayaan demokrasi. Sebab dengan hadirnya wanita dalam kancah perpolitikan akan semakin menambah harapan masa depan dan kesejahteraan rakyat Indonesia khususnya kaum wanita. Jika memang wanita adalah tiang negara, tentunya kebutuhan terhadap wanita harus dipenuhi. Wanita diberikan kesejahteraan hidup, keamanan, kehidupan yang layak, dan diposisikan sesuai dengan status dan perannya. Nampaknya hal tersebut bukan sesuatu yang berlebihan. Kita tidak sedang dalam sikap untuk semata-mata memuja dan memanjakan wanita, tapi ini merupakan sikap bagaimana seharusnya wanita di posisikan pada tempatnya di negara ini. Memiliki hak memilih dan dipilih, bebas bersikap dalam kodratnya, menjalankan hak dan kewajibannya, serta membangun bangsa dan negaranya.(*)

Membuat Surat Perjalanan RI (Paspor)

Here is it, saya akan berbagi sedikit pengalaman membuat paspor. Yup, paspor adalah salah satu dokumen negara berisi identitas pribadi warga negara, dalam hal ini WNI. Bahkan bayi pun yang masih merah kalau mau keluar negeri harus punya paspor juga. Ya iyalaah nanti kalau kenapa-kenapa di negeri orang gak ada identitas bisa dikira human trafficking yang bawanya. Saya ketemu teman SD nih pas di kantor imigrasi. Dia mau perpanjang paspornya dan membuat paspor anaknya yang masih berusia 2 bulan. Foto bayinya dipangku dalam posisi duduk.
Karena ketentuan sekarang sudah bisa membuat paspor tidak berdasarkan domisili, jadi bisa dibuat di kantor imigrasi mana saja yang terdekat dengan rumah, atau dengan kantor, atau ke kantor yang jauh sekalipun untuk menghindari kemacetan ibukota.
Saya sekeluarga memilih menggunakan jalur online. Secara ya udah jaman modern, masa sih kudu ngantri bolak-balik 3 kali ke kantor imigrasi. Di samping itu dengan jalur ini kita bisa memudahkan kerja petugas yang harus mengetik kembali blangko isian formulir kita, dan mempercepat proses pembuatannya juga.
Kami memilih untuk membuat di kantor imigrasi kelas I khusus Jakarta Selatan, di jalan Warung Buncit Raya no. 207. Sebelumnya kami ambil brosur dahulu. Ternyata untuk permohonan berkas langsung bisa 7 hari, sedangkan melalui online bisa 3 hari dan foto di hari yang sama. Jadi saya datang ke imigrasi hanya untuk cek dokumen dan foto saja 1 hari di hari yang sama. Untuk pengambilan 4 hari berikutnya bisa diwakili keluarga.
Dikarenakan kami memilih jalur secara online, maka dokumen-dokumen yang menjadi persyaratan kami scan-soft copy untuk dilampirkan dan print 2 x untuk dibawa ke kantor masukkan ke dalam map berwarna kuning yang bisa dibeli di koperasi kantor imigrasi.
Adapun prosedur secara umum untuk layanan via internet seperti di brosur, sebagai berikut:
  1. Mengunjungi website www.imigrasi.go.id lalu memasukkan semua dokumen yang diperlukan. (KTP, KK, Akte Kelahiran/Ijazah/Surat Nikah, paspor lama).
Saya hanya memasukkan hasil  scan KTP, KK, dan Ijazah. KTP dan KK sepertinya perwakilan identitas diri kekinian. Sedangkan akte/ijazah/surat nikah adalah perwakilan identitas diri di masa lampau. Hal ini untuk melihat konsistensi data terutama nama dan tanggal lahir kita. Syarat ini juga berlaku untuk para lansia. Kan zaman dulu mana ada akte lahir, jadi bisa pakai surat nikah. Mbah Uti dan Mbah Akung juga pakainya surat nikah tempo baheula yang sudah menguning kertasnya dengan tulisan ejaan lama. Hoho
  1. Mencetak tanda terima prapermohonan (memastikan jadual datang ke kantor imigrasi).
Contoh:
 
  1. Datang ke kantor imigrasi sesuai dengan jadual yang ditetapkan mengambil nomor antrian, dan mengikuti proses permohonan selanjutnya (pembayaran, foto, wawancara) di hari yang sama.
Kalau permohonan mengajukan berkas seperti biasa bisa 3 kali datang ke kantor. Tapi masing-masing setengah hari. Kalau menggunakan jalur online kita datang cukup 2 kali bahkan 1 kali (pengambilan paspor bisa diwakilkan oleh salah satu anggota keluarga). Tapi hari ketika datang bisa sampai malam. Benar-benar sampai selesai semua yang mengantri difoto. Saya saja baru selesai jam 21.30 padahal dah ngantri dari jam 07.30 WIB. Huwaaa bayangkan saja sodara-sodara 12 jam lebih di kantor imigrasi.
Pekan ketika saya datang memang sedang ramai-ramainya orang membuat paspor. Dekat dengan holidays, libur anak sekolah, yang mau umroh, dll. Jadi ramaaaaai sekaleee. Pyuuuh. Saya dapat panggilan hari selasa, tapi suami hari senin. Hal ini dikarenakan suami mengisi online hari kamis siang, sedangkan saya baru input data kamis malam. Jadi sudah kehabisan kuota panggilan untuk hari senin. Suami saya hari senin selesai sampai jam 17.00 saja.
Jadi secara umum berdasarkan pengalaman saya, membuat paspor sendiri sebenarnya sesuatu yang mudah. Mari kita jaga kepercayaan kepada sistem yang baik. Jangan biarkan calo atau langkah-langkah di luar prosedural semakin menjamur. Merdeka!! Lho. Hehe. Jadi intinya semua mudah, lagipula kasian kan para lansia yang sudah antri berjam-jam disela orang yang baru datang tinggal foto karena dia memakai biro jasa calo, sangat tidak adil. Walaupun berduit ya, tapi berkorban waktu untuk sistem yang baik kenapa tidak diusahakan.
Jadi secara singkat langkah-langkah membuat paspor versi pengalaman saya sebagai berikut:
  • Datang pagi sekali untuk mengambil antrian, jam 6 gedung sudah buka. Kita bisa mulai mengantri nomor di lantai 2. Akan ada satpam dan petugas yang melayani. Semakin dapat nomor kecil, maka proses selanjutnya tidak perlu menunggu lama. Berpakaian rapih dan sopan ya, tidak pakai sandal jepit/celana pendek/rok mini.
Ini bisa diwakilkan keluarga kita misalnya, sambil menunggu kita siap-siap di rumah kalau tidak bisa berangkat terlalu pagi. Apalagi saya ya secara emak-emak rumah tangga, pagi-pagi rempong euy. Asalkan berkas asli dan fotokopi dokumen sudah ada juga. Nanti dikira calo, apalagi kalau ambilin nomornya untuk banyak orang. Disatukan dalam map kuning yang bisa dibeli di koperasi kantor (biaya Rp5000).
Jika nama kita kurang dari 3 suku kata, maka ditambahkan selembar blangko kosong bermaterai bisa dibeli di koperasi kantor (biaya Rp7000). Blangko itu memuat isian data nama asli kita, nama ayah kandung, dan nama kakek kandung dari jalur ayah. Jadi inget-inget ya nama kakeknya. Hehe.
Jadi kalau misalnya nama kita cuma satu kata, dua kata berikutnya bisa ditambahkan nama ayah dan kakek. Contoh: ANNISA menjadi ANNISA ABDULLAH RACHMAD
Oia parkiran pasti penuuuh kalau datang kesiangan. Untuk kendaraan roda 2 ada yang parkir sampai bawah jembatan halte TransJak. Untuk kendaraan roda empat bisa parkir di lahan kosong seberang kantor imigrasi.
  • Setelah mengambil nomor antrian, kita sabar menunggu untuk dipanggil. Loket untuk online ada di bagian A. Untuk permohonan berkas langsung di loket B. Jadi kalau kita melalui jalur online, dengar dan lihat nomor di papan antrian loket A.
Sambil menunggu kita bisa membawa perbekalan camilan, membaca buku, atau sibuk dengan gadget-jangan lupa bawa power bank/charger. Kalau mau tilawah juga bisa di mushollah hehe lumayan bisa dapat beberapa juz.
  • Ketika dipanggil kita menyerahkan print surat panggilan, fotokopi berkas, dan berkas aslinya untuk dilihat kesesuaiannya. Setelah oke semua, kita mengambil nomor antrian lagi di meja satpam/informasi untuk pembayaran.
Jam istirahat pukul 12.00 – 13.00. Untuk layanan online bisa langsung mengambil antrian foto di hari itu juga. Untuk layanan berkas ditutup antrian sampai jam 11.00, jadi fotonya tidak bisa hari itu. Karena data-data yang diisi huruf cetak di formulir harus di entry terlebih dahulu.
  • Menunggu lagi untuk dipanggil membayar. Ini gabungan dari orang-orang yang mengantri di loket A dan B. Setelah dipanggil kita menuju loket C untuk membayar biaya paspor resmi sebesar Rp 255.000 (murah khaaan dibanding bayar calo). Oiya ini untuk buku paspor 48 halaman. Untuk 24 halaman tidak dibuat lagi sepertinya, apa dikhususkan untuk TKI ya? Saya tidak tahu informasinya.
  • Setelah membayar, kita lanjut menunggu untuk dipanggil foto. Syarat foto: 1) tidak memakai kemeja putih/jilbab putih (karena background-nya putih) memakai jilbab yang tidak menutupi alis. Jika yang dipakai tidak pas untuk difoto di sana disediakan jilbab; 2) tidak memakai soft lense (karena foto memerlukan gambar retina asli kita sebagai identitas); 3) tidak memakai kaos oblong.
  • Setelah foto, akan dipanggil wawancara di bilik lainnya di ruang yang sama. Data kita akan disesuaikan lagi terutama ejaan nama dan tanggal lahir, ditanya untuk apa membuat paspor, tanda tangan di paspor dan beberapa form. SELESAI deh.
  • Untuk jeda waktu istirahat bisa sholat di basement ber AC, hanya ada tempat wudhu, atau di masjid sebelah gedung.
  • Untuk jajan bisa di koperasi yang melayani fotokopian. Tersedia, snack, minuman, dan mie instant harga normal koq gak ‘ngejitak’.
  • Untuk makan berat bisa di kantin dekat gedung tapi harganya lumayan mahil dengan rasa biasa aja. Yaah daripada kelaperan. Kyknya mendingan bawa bekal atau delivery deh hehe.
  • Datang 3 hari setelahnya untuk mengambil paspor dengan membawa bukti kuitansi pembayaran. Bisa diwakilkan keluarga. Saya minta ambilin suami aja deh sekalian. Jadi deh paspornya.
Oh iya, kantor imigrasi Jaksel ini kelas 1 khusus jadi gak melayani TKI ya. Jadi tertib dan petugasnya juga ramah, beda banget deh sama petugas kelurahan/kecamatan/puskesmas. Pas diwawancara aja mereka nanya sambil bercanda mungkin secara psikologis baik juga bagi kesehatan jiwa mereka. Haha, secara rutinitasnya ketemu orang tiap hari-tiap jam sampe malam atau bahkan mendekati tengah malam dengan template yang sama. Bahkan adik saya dapat diwawancara temen SMA nya haha. Dia masuk sekolah kedinasan imigrasi yang lagi magang di sana. Oalaaah sempit aje dunia.
Tapi untuk selanjutnya kayaknya kalau mau perpanjang paspor di imigrasi Depok aja deh. Gapapa jauhan dikit, tapi lebih sepi dan kalau pagi gak sejalur arah macetnya ibukota.
Udaaah deh, semoga sharing ini bermanfaat. Pegeeel seharian duduk aja ngantri. Ya lumayan lah ngitung-ngitung belajar duduk lama di dalam pesawat hehe. Oiya pas saya mau beli makanan ke kantin pas sore bubaran orang kantor saya dipanggil petugasnya untuk diminta jadi model, difoto di meja pelayanan lantai 1. Hoho. Kayaknya mau dipasang buat brosur neh. Haha lumayan lah walau cuma tampak belakang. Terus minggu depannya pas mau ambil paspor adik saya, di mushollah ada yang lagi akad nikah ada penghulu dari KUA-resmi. Hadeeh apa syarat dokumen untuk izin tinggal ya? Nyentrik amat nikah di gedung imigrasi, mushollah basement. Sungguh deh ah pengalaman bikin paspor warna-warni. Coba kalau diurus calo gak bakal begini tinggal terima beres jadi deh tapi harga minimal 2 kali lipat dan kita sendiri secara sadar membuat kerusakan sistem yang sedang dibangun menuju perbaikan birokrasi di negeri ini. (*)

May 30, 2013

Simple Biography

I'm born in Jakarta, Tanjung Priok in 1984. Ethnic Betawi and Sundanese descent. I'm completing 12 years of elementary school and university (4,5 years + 2 years) in South Jakarta.

After high school graduation in 2002, I'm passing the SMPB exams for second choice to Department of Anthropology - Faculty of Political and Social Sciences University of Indonesia (UI). I'm join some various activities on campus. This is some of my motivations to entering the UI -> get a yellow jacket (jakun), get much emblems, and participate in student organization. I'm join Students Association Anthropology UI (He-Man UI), Student Senate Faculty UI 3 periods, and the other non-formal institutions activity. In addition I'm attending a few seminars and hearings. Beside studies in air-conditioned room, I also join streets parliamentary (​demonstrations), to protest government policies that hurt people. Enjoying not only the Jakarta asphalt-hot sun, but also absence in class :))

During a college student I'm being a part-time interviewer in KOMPAS (polling), and teaching some private students whose attend school with bilingual curriculum. Passable, home - organizing student - meeting, and continued teaching.

While final semester of college I am constructing thesis, I was invited to join the research institute. After bachelor graduation in early year, then I must starting to be college student again at Postgraduate Program at Department Political Science - FISIP UI in 2007. Studying this major, of course most students have a political interest, some of there from media, parliamentarians, professors, and also just ordinary student like me :)

When third semester in college, I was married. Thank you Allah my husband really compatible and complemented to me :p. When third until fourth semester of my college, I'm pregnant. While preparing a thesis I was commit that my baby must be pass 'bachelor ASIX' (exclusive breastfeeding). I'm consulting my thesis while waiting chemo-dialysis my professor, because of kidney failure his pain. Thanks to Prof. Ahmad Suhelmy (late). I successfully graduated my master degree in 2009, in quick time, opportunity, and a new status. Alhamdulillah my thesis grades A- and three point of GPA also same like when bachelor degree.

Now when my status as a mother, its make me to taking care all of my children at home by myself & also my husband. Prepare children prior to entering formal education, and accompany them when golden age, as realized that it would not happen again. In addition I was asked to fill out several studies on neighbor and campus, post article to media, and also become a blogger. Is one more thing, I can be active in social media networking community, also pioneered mom writer-entrepreneurial and also being founder in MoMMee.(*)

That's All

Tanggal 18 Mei 2013 saya mendapatkan buku ini karena saya tergabung dalam panitia sebuah acara. Tampaknya menarik, sejenak saya tinggalkan buku sejarah yang sedang saya baca. Saya menamatkan buku ini hanya dalam satu hari.


Membaca di lembaran awal saja membuat saya tertawa dan menangis. Hal ini bisa dikombinasi terjadi menjadi satu karena penulisnya (baca: Mbak Tami) piawai membawakannya sekaligus menyentuh emosi pembaca. Sebenarnya isi tulisan ini adalah pengalaman penulis terhadap orang terdekatnya yaitu suaminya. Pengalaman hidup suami di mata istri yang dituliskan, tentunya menjadi prasasti yang bisa menjadi sejarah terbukukan dan dikonsumsi banyak orang untuk diambil pelajaran dalam kehidupan. Selain itu kata pengantar oleh sang suami (baca: Ferrasta-Mas Pepeng) berisi puisi yang dinanti 23 tahun, ikut menitikkan tetesan mata di pembukaan buku ini.

Di awal tulisan tentang pertemuan mereka, ketika sampai pada latar di Kampus UI Fakultas Sastra dan Jurusan Antropologi saat itu sejenak mengingatkan saya pada “kerabat” Antropologi lainnya. Dengan penampilan nyentrik, sandal jepit, kaos oblong, gelang etnik segambreng, jeans belel bolong pulak, dan muka kucel, yang sering disebut dengan “ngantrop”. Haha. Jaman 2002 ketika saya masuk kuliah, kami dijuluki angkatan pesantren Antrop, karena kerabat yang biasa diisi dengan penampilan demikian jadi lebih berwarna dengan adanya warna-warni jilbab kami. Aaaiiih jadi ingat teman-teman seperjuangan ketika diinisiasi (ospek jurusan). Dari buku ini  saya melihat gambaran utuh dahulu jurusan tempat saya berkuliah selama 4,5 tahun seperti apa. Walaupun sekarang pindah fakultas di FISIP, tapi jejak-jejak budaya itu masih ada. Oh iya, angkatan penulis dan suami jauuuuh sekali dari saya, dan ketika saya hitung-hitung usia mereka satu zaman dengan orang tua saya :D

Yups lanjut lagi dengan tulisan Mbak Tami tentang suaminya. Perjalanan hidup penulis mendapatkan pendamping yang ‘beda’ dari background keluarganya benar-benar menggambarkan pasangan yang saling melengkapi. Keluarga dubes bertemu dengan keluarga Mas Pepeng dari suku Madura sederhana (julukan Pepeng diambil dari: Pemuda Pengkolan) bisa dibayangkan bagaimana kehidupan budaya yang terjadi di rumahnya. Table manner bertemu dengan makan ala lesehan. Gaya fashionable nan stylist bertemu dengan dandanan ‘seadanya’. Beragam warna dan rasa, seperti hidup yang mereka jalani dari awal pernikahan hingga saat ini. Walaupun gaya hidup yang berbeda, dengan lingkungan yang bisa dibilang tidak terlalu kondusif, masing-masing dari mereka teguh  menjalankan ibadah rutin kepada Robb nya.

Hingga akhirnya pada satu titik di masa pernikahan yang sudah puluhan tahun dilalui, ketika suami mendapatkan ujian berupa sakit Multiple Schlerosis, mereka menjalaninya dengan sabar bahkan terkesan tidak menderita. Betapa rasa syukur dan tawaqal kepada Tuhan menjadikan rezeki yang memang sudah ditetapkan-Nya mengalir dari arah yang tak disangka. Sungguh perjalanan metamorfosa spiritual yang menyentuh. Energi positif berupa motivasi dan sharing pembelajaran hidup, menjadikan buku ini layak untuk dibaca. Yah sepertinya begitulah hidup yang harus kita jalani. Ikuti iramanya, nikmati alunanannya, cermati keindahan warnanya, yakin dan percaya pada ketetapan-Nya, dan nantikan hadiah ‘grand prize’ terindah dari-Nya. That’s All J