Tanggal 18 Mei 2013 saya mendapatkan buku ini karena saya tergabung dalam panitia
sebuah acara. Tampaknya menarik, sejenak saya tinggalkan buku sejarah yang
sedang saya baca. Saya menamatkan buku ini hanya dalam satu hari.
Membaca di lembaran awal saja membuat saya tertawa dan
menangis. Hal ini bisa dikombinasi terjadi menjadi satu karena penulisnya (baca: Mbak
Tami) piawai membawakannya sekaligus menyentuh emosi pembaca. Sebenarnya isi
tulisan ini adalah pengalaman penulis terhadap orang terdekatnya yaitu
suaminya. Pengalaman hidup suami di mata istri yang dituliskan, tentunya
menjadi prasasti yang bisa menjadi sejarah terbukukan dan dikonsumsi banyak
orang untuk diambil pelajaran dalam kehidupan. Selain itu kata pengantar oleh
sang suami (baca: Ferrasta-Mas Pepeng) berisi puisi yang dinanti 23 tahun,
ikut menitikkan tetesan mata di pembukaan buku ini.
Di awal tulisan tentang pertemuan mereka, ketika sampai pada latar
di Kampus UI Fakultas Sastra dan Jurusan Antropologi saat itu sejenak
mengingatkan saya pada “kerabat” Antropologi lainnya. Dengan penampilan
nyentrik, sandal jepit, kaos oblong, gelang etnik segambreng, jeans belel
bolong pulak, dan muka kucel, yang sering disebut dengan “ngantrop”. Haha.
Jaman 2002 ketika saya masuk kuliah, kami dijuluki angkatan pesantren Antrop,
karena kerabat yang biasa diisi dengan penampilan demikian jadi lebih berwarna
dengan adanya warna-warni jilbab kami. Aaaiiih jadi ingat teman-teman
seperjuangan ketika diinisiasi (ospek jurusan). Dari buku ini saya melihat gambaran utuh dahulu jurusan tempat
saya berkuliah selama 4,5 tahun seperti apa. Walaupun sekarang pindah fakultas
di FISIP, tapi jejak-jejak budaya itu masih ada. Oh iya, angkatan penulis dan
suami jauuuuh sekali dari saya, dan ketika saya hitung-hitung usia mereka satu
zaman dengan orang tua saya :D
Yups
lanjut lagi dengan tulisan Mbak Tami tentang suaminya. Perjalanan hidup penulis
mendapatkan pendamping yang ‘beda’ dari background
keluarganya benar-benar menggambarkan pasangan yang saling melengkapi. Keluarga
dubes bertemu dengan keluarga Mas Pepeng dari suku
Madura sederhana (julukan Pepeng diambil dari: Pemuda Pengkolan)
bisa dibayangkan bagaimana kehidupan budaya yang terjadi di rumahnya. Table manner bertemu dengan makan ala
lesehan. Gaya fashionable nan stylist bertemu dengan dandanan ‘seadanya’.
Beragam warna dan rasa, seperti hidup yang mereka jalani dari awal pernikahan
hingga saat ini. Walaupun gaya hidup yang berbeda, dengan lingkungan yang bisa dibilang tidak terlalu kondusif, masing-masing dari mereka teguh menjalankan ibadah rutin kepada Robb nya.
Hingga
akhirnya pada satu titik di masa pernikahan yang sudah puluhan tahun dilalui, ketika suami mendapatkan ujian berupa sakit Multiple
Schlerosis, mereka menjalaninya dengan sabar bahkan terkesan tidak menderita. Betapa
rasa syukur dan tawaqal kepada Tuhan menjadikan rezeki yang memang sudah
ditetapkan-Nya mengalir dari arah yang tak disangka. Sungguh perjalanan metamorfosa
spiritual yang menyentuh. Energi positif berupa motivasi dan sharing pembelajaran
hidup, menjadikan buku ini layak untuk dibaca. Yah sepertinya begitulah hidup
yang harus kita jalani. Ikuti iramanya, nikmati alunanannya, cermati keindahan
warnanya, yakin dan percaya pada ketetapan-Nya, dan nantikan hadiah ‘grand prize’ terindah dari-Nya. That’s
All J
No comments:
Post a Comment