Pages

October 29, 2012

Refleksi Pendidikan Nasional: Tinjauan Demokrasi untuk Kesejahteraan


Demokrasi hanya bisa berkembang baik bila ditopang oleh warga-negara berpendidikan memadai serta kelas menengah yang kuat dan independen. [Lipset]
 
Perkembangan kajian mengenai kapitalisme, sosial, dan demokrasi saat ini banyak dikaitkan dengan aspek yang berujung pada kesejahteraan rakyat. Sebagaimana yang diketahui, perkembangan kapitalisme merupakan bagian dari gerakan individualisme. Gerakan tersebut tentunya berimplikasi kepada bidang lain. Kapitalisme mengandung pengertian sebagai definisi atas sistem sosial yang menyeluruh[i], lebih dari sekadar suatu tipe tertentu dalam perekonomian.

Di negara demokrasi, Pemerintah mendorong terwujudnya kegiatan ekonomi tertentu secara tidak langsung melalui penetapan anggaran, pajak, tingkat bunga, dan berbagai kebijakan perencanaan lainnya. Fungsi pasar bebas sebagai mekanisme kebebasan politik semakin diakui oleh kaum sosialis, karena ternyata yang penting bukanlah masalah kepemilikan.[ii]

Perjalanan transisi demokrasi di Indonesia saat ini erat kaitannya dengan aspek kesejahteraan dan teori kemakmuran. Persoalan tersebut semakin menarik, ketika ternyata salah satu aspek kesejahteraan yaitu persoalan pendidikan nasional yang menjadi problema tersendiri untuk masyarakat. Sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi UUD 1945 Amandemen IV, pendidikan merupakan salah satu aspek yang seharusnya dijamin oleh Negara. Namun, perihal implementasi serta kaitannya dengan sistem demokrasi yang dipraktikkan Pemerintah, terkadang menjadi kendala tersendiri.

Tulisan ini akan membahas bagaimana kaitannya antara teori kemakmuran dalam demokrasi dengan beberapa permasalahan pendidikan nasional di Indonesia.

Kaitan antara demokrasi dan kesejahteraan menjadi perdebatan panjang di kalangan ilmuwan politik dan ekonomi. Perdebatan berujung pada pertanyaan apakah demokrasi dapat mengantar kepada kesejahteraan, serta apakah demokrasi merupakan satu-satunya jalan menuju kemakmuran. Kesimpulan perdebatan tetap spekulatif karena bergantung pada sejumlah asumsi dasar dan persyaratan yang harus dipenuhi, agar demokrasi dapat memuluskan jalan mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Hubungan demokrasi dan kesejahteraan bersifat non-linier dan kondisional, karena melibatkan banyak faktor, seperti pengalaman sejarah, basis sosial, struktur masyarakat, pendidikan penduduk, penegakan hukum, dan kelembagaan politik.

Menginjak satu abad hari Pendidikan Indonesia, masalah pendidikan nasional hingga kini masih menjadi persoalan tersendiri. Anggaran pendidikan  20% yang termuat dalam konstitusi seakan hanya menjadi suatu harapan panjang yang lama akan terwujud. Belum lagi jika dikaitkan dengan liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Bantuan operasional sekolah (BOS) yang berimplikasi pada pembebasan SPP sekolah, boleh jadi menjadi suatu prestasi tersendiri. Namun, kadangkala persoalan buku paket atau ekstrakurikuler menjadi satu pos anggaran baru yang mengakibatkan orang tua tetap harus mengeluarkan biaya mahal untuk menyekolahkan anaknya. Pun, jika melihat pada gaji yang didapat oleh para pendidik masih jauh dari aspek kesejahteraan.

Anggaran pendidikan rata-rata masih di bawah target yang diharapkan. Hal ini pun akan semakin membebani, jika Mendiknas akan melaksanakan anjuran Pemerintah untuk menghemat 15% dari pagu anggaran APBN-P 2008, sebagai upaya efisiensi terkait dengan kenaikan harga minyak dunia. Bila anggaran dipotong 15%, hal itu akan membuat anggaran pendidikan pada 2008 lebih rendah dari anggaran 2007 sebesar Rp 44,1 triliun. Inilah paradoks di Indonesia. Di satu sisi Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam. Namun, di sisi lain perhatian pemerintah terhadap potensi sumber daya manusia (human capital) belum optimal.

Permasalahan pendidikan lainnya adalah “komersialisasi” perguruan tinggi negeri (PTN). Sejak beberapa PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) fakta yang ada menunjukkan bahwa biaya kuliah semakin terasa mahal. Beberapa kampus yang harus mandiri dituntut untuk mencari sumber penghasilan lain dari beberapa unit usaha komersil di lingkungan kampus. Hal tersebut dapat berupa ujian mandiri, pengadaan uang pangkal (admission fee), serta pos biaya lainnya yang membebani mahasiswa.

Fenomena kebebasan sebagai inti dari nilai demokrasi, terbukti merambah juga di dunia pendidikan. Tantangan globalisasi memang akhirnya menuntut perguruan tinggi melakukan pencapaian standar tertentu dengan cara modernisasi pendidikan.[iii] Hingga akhirnya beberapa sekolah swasta menyelenggarakan model pendidikan dengan ciri khas internasional. Di satu sisi hal tersebut memang diperbolehkan. Namun di sisi lain, disadari atau tidak beberapa nilai kebebasan dan modernisasi dapat mengikis rasa nasionalisme yang berimplikasi pada prestasi sekolah negeri dalam pembangunan pendidikan dalam lingkup nasional.

Bila dikaitkan dengan teori kemakmuran dalam demokrasi (ekonomi dan politik), Doel (1994:7) mengungkapkan bahwa teori kemakmuran mengandung tiga unsur[iv]:
  1. Perumusan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kemakmuran bersama dari para individu di dalam kelompok menjadi optimal
  2. Mempelajari cara mewujudkan syarat-syarat itu melalui lembaga-lembaga dan melalui kebijakan yang dijalankan
  3. Menilai secara kritis lembaga-lembaga kelompok yang ada dan kebijakan kelompok yang berlaku dari sudut kemakmuran bersama.
Korelasi antara teori tersebut dengan persoalan pendidikan yang masih menghambat pembangunan nasional sangat jelas terlihat manakala kemakmuran atau kesejahteraan yang dimaksud belum dapat memenuhi kemakmuran hingga tingkatan individu. Program kemakmuran atau kesejahteraan seharusnya juga tak sekedar dituangkan dalam konstitusi dan legislasi, tapi juga harus dikuatkan melalui institusi politik, sehingga tercipta kelembagaan pendidikan yang memadai untuk menopang program yang ada.

Lipset (1959) mengungkapkan bahwa demokrasi hanya bisa berkembang baik bila ditopang oleh warga negara berpendidikan memadai serta kelas menengah kuat dan independen. Bila kriteria tersebut belum terpenuhi maka bagaimana mungkin demokrasi bisa membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia secara luas. Sangat disadari bahwa pendidikan merupakan aspek dan syarat yang harus dicapai untuk menciptakan human capital yang berkualitas. Dengan begitu, tingkat kecerdasan dan kemakmuran dapat menghasilkan kelas menengah yang kuat dan independen dari bangsa asing.

Demokratisasi memang tak berjalan seperti garis lurus, melainkan berkembang sesuai dinamikanya menyangkut relasi kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi dengan banyaknya kepentingan (interest) yang tertanam. Untuk mewujudkan hal tersebut, pendidikan menjadi salah satu aspek yang diandalkan untuk menciptakan kondisi demokratis yang membawa kemakmuran. Untuk itu, peranan semua kalangan, mulai dari elite pemerintah, akademisi, serta kaum pemilik modal harus menciptakan sinergisitas dalam upaya pembentukan institusi politik yang dapat mendorong terciptanya lembaga pendidikan yang dapat diandalkan. Akhirnya, semua ini tergantung pada komitmen, visi, dan kemauan politik (political will) para pemimpin negara ini untuk membangun pendidikan di Indonesia


[i] Ebenstein dan Fogelman. 1994. Isme-Isme Dewasa Ini. Jakarta: Erlangga, hlm.148.
[ii] Ibid., hlm. 150
[iii] Gatot Widayanto. “Liberalisasi Pendidikan.” Koran Tempo. 2 Mei 2008.
[iv] J. van den Doel. 1988. Demokrasi dan Teori Kemakmuran. Jakarta: Erlangga, hlm. 7

No comments:

Post a Comment