Pemberitaan media yang lalu seputar rapuhnya mesin partai politik
(parpol) menjelang Pemilu 2009 menjadi fenomena yang melanda parpol.
Kondisi tersebut terlihat dari belum terlaksananya fungsi parpol secara
optimal sebagai mesin penggalang suara dan basis massa. Parpol dalam sistem demokrasi memiliki beberapa fungsi dalam menyokong
partisipasi politik masyarakat. Di antaranya adalah fungsi komunikasi
politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, pengatur konflik, dan
kandidasi. Namun yang terlihat umum, parpol justru cenderung lebih
memfungsikan dirinya dominan pada fungsi kandidasi politik, sebatas
sebagai alat politisasi bagi calon legislatif atau presiden/wakil
presiden.
Membangun Political Society
Konsep partai politik (parpol) berawal di Eropa Barat. Lalu dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka parpol berkembang menjadi penghubung antara rakyat dan pemerintah. Parpol dianggap manifestasi dari suatu sistem politik modern. Dalam negara yang menganut demokrasi, gagasan partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin, yang kelak menentukan kebijakan umum (public policy).
Fakta bahwa parpol merupakan instrumen modern sebagai lembaga yang memiliki hak dalam konstitusi untuk ‘menitipkan’ kadernya secara intra-parlementer, realitanya kurang optimal bahkan diabaikan oleh para fungsionaris parpol. Sementara Parpol merupakan political society yang berhak untuk menjalankan fungsi kaderisasi, rekrutmen, dan pendidikan politik kepada masyarakat.
Dari pengabaian tersebut menunjukan rapuhnya “mesin” parpol. Sedang pada saat yang sama terdapat tuntutan munculnya wakil perseorangan dalam perebutan kursi jabatan politik. Lantas bagaimana semestinya fungsi dan peran parpol di Indonesia?
Pada aspek lain munculnya perseorangan sebagai calon alternatif dari civil society sesungguhnya makin memperlemah proses menuju konsolidasi demokrasi. Sebab salah satu hakikat demokrasi adalah penguatan sistem kepartaian sebagai satu-satunya saluran mengartikulasi dan mengagregasi kepentingan publik. Selain itu, fenomena kecenderungan massa untuk memilih kandidat (orang) bukan parpol, sesungguhnya merupakan bentuk ketidakpahaman sipil terhadap mekanisme demokrasi (civic ignorance) –yang sepatutnya menjadi fungsi sosialisasi bagi parpol. Walau pun terpahami bahwa pembangunan sistem parpol di Indonesia secara kelembagaan tergolong dini dibanding saat parpol berfusi 3 di era Orde Baru. Namun, transisi demokrasi saat ini cukup memberi ruang bagi parpol menguatkan dan membangun institusi kediriannya sesuai dengan fungsinya.
Persoalan dalam internal parpol dikarenakan kebanyakan tipe
parpol yang ada adalah partai massa bukan partai kader. Kondisi ini
menjadikan parpol tidak dapat mengandalkan kekuatan mesinnya dalam
menjalankan penggalangan suara. Justru yang dilakukan pada saat kampanye
lebih kepada sosialisasi berupa hiburan bagi massa, bukan menekankan
pada pendidikan politik. Padahal semakin ‘cerdas’ rakyat seharusnya
semakin mendukung terciptanya demokrasi elektoral yang lebih baik.
Fenomena saat ini, parpol justru merekrut sejumlah artis sebagai vote getter dan menggelar open recruitment kandidat di media massa bagi mereka yang ingin menjadi caleg pada Pemilu 2009. Proses pendulangan suara lebih dimaksimalkan melalui caleg yang bersangkutan secara mandiri, terlebih lagi dengan disetujuinya uji materiil penetapan legislator melalui suara terbanyak oleh MK beberapa waktu lalu. Kondisi di atas mencerminkan belum berjalannya fungsi kaderisasi dan pendidikan politik dari parpol kepada masyarakat. Masyarakat masih diposisikan sebagai objek politik ketimbang subjek politik.
Selain itu, kebanyakan parpol ternyata tidak memiliki mesin politik yang efektif. Akibatnya, kekuatan elektoral parpol cenderung stagnan. Parpol tidak lagi mengandalkan organisasi di tingkat grass root untuk melakukan sosialisasi dan menjangkau pemilih potensial. Sedangkan, penggunaan media massa hanya dapat dijangkau parpol yang memiliki cukup finansial. Elite partai juga tidak ‘membumi’ untuk berdekatan dengan konstituennya.
Fenomena yang terlihat saat ini kepercayaan rakyat terhadap parpol terus menurun. Padahal, posisi parpol sangat kuat dalam konstitusi untuk menjalankan fungsi yang tidak dimiliki oleh lembaga lain, misalnya: berhak mencalonkan presiden dan wakil presiden serta mengisi kursi legislatif.
Kini, parpol harus mengubah diri untuk membangun kekuatan elektoral dalam jangka panjang bukan hanya menjelang pemilu. Tidak perlu terlalu mengandalkan artis sebagai vote getter walaupun hasil survei LSI tanggal 8-20 September 2008 menggambarkan demikian. Misalnya, survei tersebut memperlihatkan bahwa caleg artis (Eko Patrio 5,6%) lebih berpeluang untuk dipilih ketimbang caleg politisi (Ferry Mursyidan Baldan 0,1%).
Di sisi lain, faktanya pada proses pendulangan suara, kader parpol yang menjadi tokoh daerah justru lebih ‘sukses’ meraih suara ketimbang artis. Hal tersebut terlihat pada perolehan suara antara Ferry Mursyidan Baldan (98.835) dan Nurul Arifin (81.566) di Dapil Jabar pada Pemilu 2004. Atau fakta lainnya yang menunjukkan kebanyakan artis malah terpuruk dalam perolehan suara pemilih. Lebih dari separuh artis (13 dari 25 orang) hanya mampu mengumpulkan suara kurang dari 10% BPP.
Hasil itu menunjukkan fakta tidak banyak artis yang sukses memenuhi misi partai mendulang suara pemilih pada Pemilu 2004. Karena artis hanya memiliki fans, yang tentunya sangat berbeda dengan basis massa riil yang dimiliki dan dibina oleh kader politisi parpol. Fans belum tentu akan menyuarakan haknya melalui proses pemilu. Hal ini yang tidak disadari di lapangan, kadangkala popularitas belum tentu berbanding lurus dengan elektabilitas.
Oleh karena itu, sebenarnya masih ada kepercayaan rakyat terhadap kader parpol. Kini tinggal bagaimana parpol dapat bekerja membangun kekuatan elektoral di daerah kantong basis massa dan memperbaiki mesin politiknya agar dapat bekerja secara efektif.(*)
(Siti Nurhayaty Dewi, Mahasiswa S2 Program Pascasarjana Ilmu Politik
Universitas Indonesia, bergabung dalam political Science Forum-UI &
Nusantara Institute)
*) dimuat di koran TERBIT, Selasa 10 Maret 2009
No comments:
Post a Comment