Pendahuluan
Pada awal bulan November lalu, media memuat
berita mengenai bergabungnya pengusaha media Hary Tanoesoedibdjo pimpinan PT
Media Nusantara Citra (MNC) Group—induk RCTI,
MNC
TV, Global TV, koran Sindo,
Sindo
Radio, Sindo TV, SUN TV—ke dalam barisan pengurus
Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Ia mendapatkan posisi sebagai ketua umum dewan
pakar dalam partai yang diketuai oleh Patrice Rio Capella. Sebagaimana yang
diketahui, MNC memiliki jaringan komunikasi yang cukup banyak di Indonesia.
Baik berupa stasiun televisi, jaringan online berita, maupun koran nasional.
Hal ini tentunya sedikit banyak akan memberikan dampak dan keuntungan bagi
partai yang didirikan oleh Surya Paloh, yang juga pimpinan Media Grup, Metro TV, Media Indonesia, Lampung Post, maupun Tribun Borneo. Mengutip data AC Nielsen
pada 2010, menyebutkan bahwa tiga group media di Indonesia (MNC, Media, dan Viva)
memiliki pangsa pemberitaan media yang terbesar di tanah air dengan persentase sharing media di atas 80 % angka
nasional, sehingga pemberitaan berita nasional maupun lokal yang disiarkan oleh
ketiga group media besar tersebut secara psikologis mempengaruhi opini publik
masyarakat Indonesia mengenai situasi politik, ekonomi, sosial budaya dan juga
jalannya pemerintahan kontemporer. Lalu, bagaimanakah sebenarnya peran
komunikasi media dalam kondisi politik saat ini.
Dunia atas Image
Menurut pakar ilmu komunikasi FISIP UI Ade
Armando, dunia saat ini adalah dunia image.
Semua berawal dari pencitraan yang dibuat oleh media. Sebagai contoh, negara
Irak bisa diserang karena orang percaya bahwa di sana itu ada senjata pemusnah
massal. Bahwa Irak adalah backing
dari organisasi Al-Qaeda. Padahal itu semua hanya image yang dibangun oleh negara adi kuasa, Amerika Serikat.
Faktanya tidak pernah dapat dibuktikan semua kekhawatiran itu. Lalu, mengapa
orang mendukung semua image yang
dibangun tersebut? Itu dikarenakan citra yang dibangun dan diekspos oleh media
semakin besar dan berkembang sehingga membuat dunia khawatir bahwa nuklir di
Irak memang sesuatu yang nyata.
Terminologi Media
Capture of Capitalism, diperkenalkan oleh Noam Chomsky (2004) dalam bukunya
yang berjudul “Media Control: The Spectacular Achievement of Propaganda”.
Chomsky mencontohkan, kasus yang terjadi dalam pemberitaan media yang tidak
independen di Amerika Serikat. Dia mencontohkan Fox News dan CNN cenderung
membela kepentingan partai Republik di Kongres, sehingga membuat masyarakat AS
menjadi terpengaruh untuk menjadi republikan. Tentu saja, Rupert Murdoch adalah
aktor di balik semua pemberitaan Fox dan CNN. Murdoch merupakan seorang
konservatif yang republikan. Hal tersebut terbukti dalam Pemilu AS pada tahun
2003 ketika Fox News secara gencar mempengaruhi publik Amerika Serikat untuk
memilih George W Bush menjadi presiden AS untuk kedua kalinya. Pada kasus ini, pentingnya
peran media terlihat bahwa Fox News membentuk image positif terhadap berbagai pemberitaan mengenai kejahatan
kemanusiaan akibat perang invasi Amerika Serikat ke Irak maupun Afghanistan
sebagai bentuk apresiasi melawan terorisme. Oleh karena itulah Fox dan CNN
secara tidak langsung menjadi sarana Murdoch untuk senantiasa mendukung republikan.[i]
Karakteristik TV
Semakin banyaknya stasiun TV menunjukkan
masyarakat Indonesia masih cenderung menyukai budaya menonton daripada membaca
ataupun menulis. Ini dibuktikan dengan adanya survei AC Nielsen pada tahun
1999, bahwa 61 % sampai 91 % masyarakat Indonesia suka menonton televisi. Hasil
ini lebih lanjut menjelaskan, hampir 8 dari 10 orang dewasa di kota-kota besar
di Indonesia lebih memilih menonton TV setiap hari. Sedangkan 4 dari 10 orang
lebih memilih atau lebih suka mendengarkan radio.[ii]
Hasil survei AC Nielsen diperkuat dengan data
Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2006 yang memaparkan fakta bahwa, budaya
membaca masyarakat Indonesia hanya 23,5 persen. Angka ini jauh lebih rendah
dibanding menonton TV yang mencapai 70 persen lebih.[iii]
Tingginya animo masyarakat Indonesia untuk menyaksikan televisi, karena
berdasarkan karakteristik media, TV dianggap merupakan media yang lebih
komunikatif dan memiliki efektivitas tertinggi dalam penyampaian pesan atau
informasi dibandingkan media komunikasi lainnya. Giblin (2001) mendukung
pernyataan ini dengan hasil penelitiannya tentang bagaimana kita mengingat
informasi. Hasil penelitiannya menyebutkan, bahwa 10 % informasi diingat dari
apa yang kita baca, 20 % dari apa yang kita dengar, 30 persen dari apa yang
kita lihat, 50 persen dari apa yang kita lihat dan dengar, 70 persen dari apa
yang kita katakana saat berbicara, dan 90 persen dari apa yang kita katakan
dengan melakukan sesuatu.[iv]
Media: Sarana Artikulasi
Partai
Berdasarkan data dari AC Nielsen yang diliris
Media Indonesia (1/12/2008) tentang pengeluaran partai politik untuk iklan
dapat disimpulkan, iklan menjadi salah satu faktor penting dalam meningkatkan
dukungan terhadap partai politik. Sebagai catatan, iklan politik tidak selalu
berhasil meningkatkan dukungan terhadap suatu partai. Contohnya, PAN, pada Mei
dan Juni, gagal mendongkrak dukungan. Berdasar hasil survei LSI, April-Juni
2008 dukungan terhadap PAN hanya naik dari 4,0 persen menjadi 4,5 persen.
Iklan politik amat memengaruhi preferensi politik
di Indonesia karena banyak pemilih menentukan pilihannya pada hari pemilu (undecided voters). Jadi, banyak pemilih
Indonesia yang saat ini belum mempunyai pilihan pasti. Selain itu, iklan
politik juga penting dalam persaingan karena jumlah massa mengambang (floating mass) di Indonesia cukup besar.[v]
Jika melihat peta politik dan kedudukan media
saat ini, sebenarnya dapat terlihat bagaimana afiliasi kepemilikan media
tersebut ke dalam partai politik. Dalam gambar 1 (dibawah ini), dapat dilihat
bahwa sarana media yang tersebar di Indonesia baik cetak maupun elektronik
memiliki afiliasinya sendiri. Maka tak dapat dipungkiri bahwa setiap pihak yang
memiliki media mempunyai misi untuk menyampaikan kehendaknya melalui segmen
berita dan informasi mencakup pencitraan banyak hal yang dikemas dalam beberapa
program acara atau bahkan lintasan iklan. Aspek segmen yang disampaikan dapat terdiri
dari berbagai bidang seperti sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik. Dapat
dipastikan media yang berkembang juga difungsikan sebagai sarana artikulasi
partai.
Gambar 1.
Peta Politik Kecenderungan Media
Sumber: Jakarta Post, 11 Desember 2011
Jika melihat konteks Partai Nasdem, Surya Paloh sebagai
salah satu pendirinya telah menguasai satu stasiun televisi swasta dan satu
koran nasional. Hal ini mungkin bisa saja orang tidak perlu memperhitungkan
sebagai salah satu kekuatan yang dimiliki partai. Karena tidak ada monopoli ataupun
kapitalisasi atas penguasaan media. Namun, ketika figur Hary Tanoe turut
bergabung dalam partai ini, kelebihan ini tidak dapat diabaikan. Bukan saja
soal finansial, tapi dalam hal kekuatan media (MNC). Secara eksplisit Hary
Tanoe mengatakan bahwa MNC akan independen dan dia juga menilai terlalu
dini untuk memperbincangkan peran media menjelang Pemilu 2014. Karena
baginya posisi dia di Nasdem adalah sebagai Hary Tanoe pribadi. Walaupun
demikian hal tersebut tidak dapat dipandang sebagai hal yang biasa, karena
kekuatan media merupakan modal awal untuk mengubah sesuatu yang tidak mungkin
menjadi mungkin.
Secara pribadi, Hary Tanoe memandang bahwa Partai
Nasdem punya momentum untuk sukses jika dimulai saat ini. Hary juga menambahkan,
momentum yang ada saat ini bisa dijadikan upaya untuk mendongkrak kesuksesan
partai Nasdem. Kondisi tersebut terlihat dari terguncangnya ekonomi dunia yang
menurutnya berkaitan erat dengan politik. Dikatakannya, bila tidak ada
gebrakan signifikan untuk mengatasi situasi perekonomian tersebut maka tidak
akan ada perubahan apapun. Restorasi yang diusung Nasdem baginya membawa pesan
perubahan sesuai keinginan masyarakat. Selain itu, dia akan mengembangkan Partai
Nasdem sesuai dengan kemampuan dan pengalamannya mengelola bisnis di MNC dengan
slogan “CARR” (Content, Awareness, Reach,
Reception Quality). Content, artinya
program yang dibuat disukai masyarakat. Awareness,
menyangkut popularitas di mana masyarakat bisa memahami restorasi-restorasi di
segala bidang. Reach artinya siaran
dapat menjangkau semua. Bila dianalogikan, kantor-kantor Nasdem akan segera ada
di seluruh desa di Indonesia. Sedangkan Reception
Quality, akan tergantung dari kualitas Nasdem sendiri.[vi]
Secara pribadi dapat dipandang bahwa Hary Tanoe
memiliki kapasitas yang sudah terbukti mampu dalam memimpin perusahaan seperti
MNC. Dalam hal finansial kekuatan itu tidak dapat diabaikan. Namun hal yang
juga patut disorot dan diwaspadai oleh partai lain adalah, Nasdem memiliki
modal atas dukungan media yang nantinya dapat dipergunakan dalam mendukung
kekuatan politik. Hary cukup yakin bahwa Partai Nasdem dapat membentuk struktur
yang akan tersebar di seluruh propinsi Indonesia dan akan berhasil melewati target
5% batas ambang perolehan suara di Pemilu 2014 mendatang.
Dalam konteks Pemilu di AS, kapitalisme media terbukti
membuat jurnalisme media massa cenderung
tidak humanitarian dan egalitarian dalam pemberitaannya. Kapitalisme media
justru membuat pemberitaan menjadi saluran propaganda yang pada akhirnya
menurunkan derajat pemberitaan media, sehingga tidak seimbang dalam memberikan informasi
bagi masyarakat. Hal tersebut dikarenakan konten berita hanya berisi pujian
kepada politisi partai Republik bukannya berita kritis aspiratif. Dengan
demikian media yang harusnya menjadi salah satu pilar utama demokrasi, justru kehilangan
fungsi kontrol dan kritis kepada pemerintah.
Dalam dunia politik peran image dan media sangat penting sebagai sarana sosialisasi politik
kepada masyarakat. Dalam hal positif, ketika partai politik membuat suatu
program dan dapat dipublikasikan kepada media, maka masyarakat akan melihat
karya nyatanya. Sehingga dalam hal politik perlu ada yang dipromosikan melalui
media untuk eksistensi partai. Karena dalam politik masyarakat harus tau apa
yang dilakukan partai. Beberapa partai yang ada saat ini juga mengandalkan show off aktivitas politknya agar
diliput media bahwa mereka pro rakyat. Inilah yang akan membangun kepercayaan
dan simpati masyarakat. Jadi kapitalisme media oleh partai politik, merupakan
hal yang harus diwaspadai karena dunia ini dibentuk atas image.
Dapat dibayangkan bagaimana ketika MNC Group
masuk dalam koalisi politik Partai Nasdem, akan memberikan ruang kontestasi politik
di Indonesia dengan menjadikan media yang dimiliki oleh orang partai sebagai sarana
artikulasi partai politik. Kontestasi tersebut berupa perang opini berita,
komentar, maupun konten berita antarberbagai partai politik sehingga pada
akhirnya informasi yang disajikan oleh media tidak kredibel dan membentuk
pencitraan secara sepihak. Kondisi tersebut akan sangat mengancam pers yang seharusnya
menjunjung tinggi netralitas isi berita dalam upaya mencerahkan dan sumber
pengetahuan masyarakat.
Mempertahankan Media
sebagai Pilar Demokrasi yang Netral
Demokrasi dan media massa tidak bisa dipisahkan.
Media massa menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh dalam demokratisasi bahkan
dalam beberapa sumber, media massa dijadikan sebagai salah satu pilar demokrasi.
Di Indonesia pada Pemilu 1999, pemilu pertama setelah tumbangnya rezim
pemerintahan Orde Baru, praktek komunikasi politik atau kampanye pemilu mulai
menggunakan media sebagai saluran utama kampanye politik, khususnya televisi
atau media cetak. Ini merupakan sebuah perubahan besar (a big political change), sebab selama penyelenggaraan pemilu di
masa Orde Baru, media dikontrol secara ketat oleh pemerintah. Menurut David T.
Hill & Krishna Sen (2005), di massa Orde Baru, Semua materi kampanye yang
akan disiarkan oleh media harus disetujui oleh Panitia Naskah Kampanye Pemilu
dan harus disampaikan kepada Menteri Penerangan Harmoko. Pada era Orde Baru,
media tidak memiliki kekuatan (powerless)
dalam mempengaruhi partisipasi elektoral, sebab pola partisipasi elektoral pemilih
dimobilisir atau digerakan oleh pemerintah.[vii]
Selanjutnya pada Pemilu 2004, komunikasi politik
partai atau kandidat mulai mengadopsi konsep “Americanization”. Dennis Kavanagh mengatakan bahwa istilah
‘amerikanisasi’ digunakan untuk menjelaskan proses yang menunjukan banyaknya
aktivitas politik yang terkait dengan media (the media-related activities) dan ketergantungan politisi pada
komunikator profesional (professional
communicators). Konsep ini pertama kali dikembangkan di AS dan diikuti oleh
negara-negara lainnya.[viii]
Pada Pemilu 2009, khususnya pemilu presiden menunjukan
bahwa sudah tidak ada lagi batasan komunikasi politik di dalam proses pemilu di
Indonesia. Untuk meraih tujuan demokrasi substantif, pemilu harus menjadi sarana
penyaluran kedaulatan rakyat, dimana para politisi yang terpilih akan mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Terwujudnya demokrasi substantif membutuhkan
adanya well informed electors,
pemilih yang memiliki informasi yang cukup tentang pengetahuan elektoral dan
profil partai atau kandidat. Dalam hal ini, media memiliki peran penting dalam
membentuk pemilih yang seperti apa. Sebab media menyebarkan informasi atau
analisis elektoral sebagai sumber pengetahuan pemilih.
Stuart Hall (Hall, 1982:67) menyatakan, makna
tidak bergantung pada struktur makna itu
sendiri, tetapi lebih kepada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi
sosial. Media massa, menurut Hall pada dasarnya tidak mereproduksi, melainkan
menentukan (to define) realitas
melalui pemakaian kata-kata yang terpilih.[ix]
Dalam hal ini, politik pemberitaan media berhubungan erat dengan strategi media
dalam meliput peristiwa, memilih, dan menampilkannya fakta serta dengan cara
apa fakta itu disajikan, yang secara langsung atau tidak langsung, berpengaruh
dalam merekonstruksi peristiwa. Hal terpenting dalam memahami media adalah
bagaimana dia melakukan politik pemaknaan.
Dengan demikian, sangat perlu untuk tetap mempertahankan
media sebagai pilar demokrasi yang netral. Karena media ini akan memberikan
informasi yang seimbang mengenai partai atau peserta kampanye. Peran media yang
mengkombinasikan pencitraan partai atau tokoh dapat menghasilkan image positif yang akan terbentuk.
Manakala ketika ada politisi yang dibangun melalui image yang baik, juga mendukung anti korupsi, clean governance, ekonomi kerakyatan, dan di bawah (grass root) melakukan banyak hal bagi
rakyat, maka akan dinilai positif oleh masyarakat. Karena masyarakat memiliki
pandangan yang sangat sederhana. Dengan demikian masyarakat bisa memercayai apa
yang dibangun media. Dunia hari ini dibangun atas performa dalam image. Jika anggota partai bisa memiliki
dana untuk membeli media dan menguasai beberapa media maka tidak dapat
dipungkiri bahwa hal tersebut merupakan suatu keunggulan dan modal untuk
mendulang suara.
Simpulan
Sangat dipahami bahwa saat ini media massa
sebagai salah satu bagian dari pilar demokrasi tidak bisa dipisahkan. Media (cetak
maupun elektronik) menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh dalam demokratisasi.
Dengan demikian bukan sesuatu kekhawatiran yang berlebihan manakala ada
beberapa pihak yang kritis akan keberadaan independensi media atas kepentingan
politik. Walaupun di sisi lain, pihak yang memiliki media tidak dapat
sepenuhnya lepas dari kepentingan atau pencitraan yang ingin disampaikan, namun
sangat diharapkan bahwa media dapat proporsional dalam memberikan informasi
kepada masyarakat, terutama informasi yang sarat muatan politik. Di sinilah
pentingnya pengawasan kritis masyarakat terhadap penggunaan media sebagai
sarana politik.
Menjelang pesta demokrasi, penggunaan media massa
sebagai above the line communication (televisi, radio, surat
kabar, majalah) menjadi lebih sering digunakan. Hal ini akan menguntungkan
partai yang memiliki modal dan akses kemudahan untuk mengiklankan partai
ataupun calonnya di media. Dengan demikian partai yang memiliki keterbatasan
dana harus menyeleraskan dengan penggunaan below
the line communication (jaringan di grass
root, door to door, day by day) sebagai bentuk iklan. Hal ini bertujuan
agar masyarakat tetap mendapatkan informasi yang proporsional sebelum
menggunakan hak pilihnya.(*)
4 Januari 2012
[i]
http://makassar.tribunnews.com/2011/10/13/media-tersandera-partai-politik
[ii] Media Indonesia, 19 November 1999
[iii]
Data BPS tahun 2006.
[iv]
http://ahmadtaufiq-alfin.blogspot.com/2011/05/apakah-iklan-tv-sudah-kehilangan-daya.html
[v]
http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=690.
Kompas, 16 Desember 2008
[vi]
http://news.okezone.com/read/2011/11/11/339/527847/hary-tanoesoedibjo-partai-nasdem-bakal-sukses-2014
[vii] http://www.paramadina.ac.id/component/content/article/293-diskusi-terbatas.html?lang=
(lihat Krishna
Sen and David
Hill. 2000. Media, culture, and
politics in Indonesia. Oxford University Press).
[viii]
Lihat Dennis Kavanagh. 1997. Election
campaining the new marketing of politics.
[ix]
Dalam Alex Sobur, 2002. Analisis Teks
Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal. 40
No comments:
Post a Comment