Pendahuluan
AAL, seorang pelajar SMKN 5 Palu, Sulawesi
Tengah diajukan ke pengadilan. Dirinya terancam hukuman 5 tahun penjara.
Perkaranya sepele, AAL dituding mencuri sandal jepit Briptu Ahmad Rusdi.
Ironis, sebab ini menandakan “hukum tajam ke atas tapi tumpul ke bawah”.
Akibat
kasus ini, di sejumlah daerah berdiri posko pengumpulan sandal jepit sebagai
bentuk protes atas kasus yang menimpa AAL. Kasus ini bahkan diberitakan
sejumlah media internasional. Misalnya situs The News Zealand Herald (4/1),
memuat berita berjudul, "Indonesia's
new symbol for injustice: Sandals". Berita senada juga dimuat Washington Post, Boston Globe, Hindustan Time,
BBC.com, dan CTV Winnipeg. Bahkan Aljazeera menulis pandangannya, "Indonesia telah menempuh perjalanan luar biasa menuju demokrasi sejak
menumbangkan diktator Soeharto pada 1998, namun sistem peradilan tetap menjadi
titik lemah.” Mereka juga
menyoroti soal diskriminasi hukum yang terjadi di Indonesia. Lalu bagaimanakah
sebaiknya penyikapan hukuman atas kenakalan anak yang umumnya terjadi di
Indonesia?
Juvenile Delinquency
Kenakalan anak (remaja)
biasa disebut dengan istilah juvenile.
Berasal dari bahasa latin “juvenilis”,
yang artinya anak-anak, anak muda, sifat khas pada periode remaja. Sedangkan delinquency berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan,
mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial,
kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, dan lain sebagainya. menurut Kartono[i]Juvenile delinquency atau kenakalan
remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala
sakit (patologis) secara sosial pada remaja Istilah kenakalan remaja mengacu
pada suatu rentang yang luas dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial
sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal.
Jensen[ii] membagi
kenakalan remaja menjadi empat aspek yaitu
- Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.
- Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
- Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, dan hubungan seks bebas.
- Kenakalan yang melawan status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, kabur dari rumah, dan membantah perintah orang tua.
Sarwono[iii],
mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau
kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun. Jika
perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sanksi hukum. Pada
masa remaja terutama remaja awal merupakan fase dimana teman sebaya sangat
penting baginya. Remaja sering membentuk kelompok yang lebih dikenal dengan
sebutan gang (baca genk). Idealisme
mereka sangat kuat dan identitas diri mulai terbentuk dengan emosi yang labil.
Timbulnya kenakalan
remaja kadang bukan karena murni dari remaja itu sendiri. Tetapi kenakalan itu
merupakan efek samping dari hal-hal yang tidak dapat ditanggulangi oleh remaja
dalam keluarganya. Bahkan orang tua itu sendiripun tidak mampu mengatasinya. Akibatnya
remaja menjadi korban keadaan keluarganya[iv].
Tindakan Hukum atas
Kenakalan Anak
Kenakalan anak di Indonesia tampaknya masih
menjadi pemberitaan aktual yang memiliki ciri tersendiri di setiap zamannya.
Gejala tersebut mendorong pentingnya pemahaman proporsional terhadap perilaku
kenakalan anak, terutama dalam usaha penanggulangannya yang selama ini terjadi
di masyarakat.
Perilaku kenakalan anak yang kerap terjadi
di usianya dapat berhubungan dengan kenakalan yang menyebabkan tindak
kriminalitas. Namun, diperlukan penanggulangan khusus mengenai peraturan
tentang anak. Hal ini dikarenakan anak memiliki karakteristik dan mental
psikologis yang perlu penanganan tepat. Kejahatan yang dilakukan seorang anak
yang ditindak secara hukum jangan sampai menjadi bumerang bagi masa depan anak.
Aspek pembinaan dan perlindungan hak anak harus diformulasikan dalam aturan
khusus dalam menindak anak yang melakukan kejahatan.
Penanggulangan kenakalan anak melalui jalur hukum adalah cermin sifat
simptomatik daripada kausatif. Praktik pendekatan hukum konvensional cenderung
merugikan masa depan anak melalui stigmatisasi terhadap anak. Seharusnya
kenakalan anak melalui usaha yang mengedepankan ‘kepentingan terbaik anak’,
tanpa kehilangan maknanya sebagai upaya pengendalian terhadap terjadinya gejala
penyimpangan di masyarakat.[v]
Perlindungan Anak
Pada hakikatnya anak tidak dapat
melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian
mental, fisik dan social. Anak harus dibantu orang lain dalam melindungi
dirinya. Mengingat situasi dan kondisinya pelaksanaan peradilan pidana anak dapat
menimbulkan kerugian mental, fisik dan sosial. Perlindungan anak dalam hal ini
perlindungan hukum/yuridis (legal protection). Pentingnya perlindungan hukum
terhadap anak berhadapan dengan hukum (ABH) adalah agar terpenuhi haknya
sebagai generasi penerus dan demi masa depan bangsa Indonesia.
Pemerintah Indonesia terikat
yuridis dan politis untuk melakukan langkah strategis menghormati, melindungi,
dan memenuhi hak-hak anak tanpa diskriminasi. Hal itu diwujudkan melalui Gerakan
Nasional Perlindungan Anak yang dicanangkan oleh Presiden pada 23 Juli 1997.
Kemudian dilanjutkan pengesahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yang menjadi momentum keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan terbaik
bagi anak. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak:
“Penangkapan penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.
“Penangkapan penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.
Dalam peraturan internasional
dinyatakan penangkapan, penahanan dan pemenjaraan harus menjadi langkah
terakhir. Konsep ini tercantum dalam Pasal 37 huruf b Konvensi Hak-hak Anak. “Tidak seorang anak pun dapat dirampas
kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan
atau pemenjaraan seorang anak harus seseuai dengan hukum dan hanya diterapakan sebagai
upaya terakhir untuk jangka waktu sesingkat-singkatnya”.
Hakikatnya, perlindungan bagi ABH dapat dilakukan dengan baik bila perumus kebijakan,
kesiapan SDM. sarana prasarana dan budaya masyarakat mendukungnya.
Keadilan Restoratif
Keadilan restoratif (restorative
justice system) termasuk relatif baru di Indonesia. Namun demikian, keadilan
restoratif memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi masalah kenakalan
anak. Keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan untuk keadilan yang berfokus
pada kebutuhan korban, pelaku, serta masyarakat yang terlibat, bukan berprinsip
menghukum pelaku. Korban mengambil peran aktif dalam proses, sementara
pelaku didorong untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan
mereka, "untuk memperbaiki hal-hal yang membahayakan mereka,
dilakukan-dengan cara meminta maaf, mengembalikan uang yang dicuri, atau
pelayanan masyarakat".[vi]
Keadilan restoratif melibatkan
kedua pihak yaitu korban dan pelaku dan berfokus pada kebutuhan pribadi
mereka. Selain itu, juga memberikan suatu bentuk bantuan bagi pelaku untuk
menghindari pelanggaran di masa depan. Hal ini didasarkan pada sebuah
teori keadilan yang menganggap kejahatan dan pelanggaran menjadi pelanggaran
terhadap individu atau masyarakat, bukan negara. Keadilan restoratif yang mendorong
dialog korban dan pelaku sehingga menunjukkan tingkat tertinggi kepuasan korban
dan akuntabilitas pelaku.
Keadilan restoratif merupakan
salah satu perubahan paradigma yang memberikan solusi terhadap penanganan
masalah kenakalan anak, yang menganggap bahwa sistem peradilan pidana tidak
memenuhi keadilan substantif. Oleh sebab itu keadilan restoratif perlu menjadi masukan
penanganan masalah kenakalan anak. Karena pendekatan ini melibatkan semua pihak
dalam proses penyelesaian, mengedepankan musyawarah dengan tujuan memulihkan
segala kerugian yang diakibatkan oleh kenakalan anak. Selain itu diharapkan perbaikan
moral terjadi sehingga anak tidak mengulangi perbuatannya, dan menghindari
pemenjaraan yang dapat mempengaruhi perkembangan anak secara fisik, mental, serta
kejiwaannya.[vii]
Kekhawatiran bahwa dengan keadilan restoratif pelaku tidak mendapat
nilai pembelajaran, hal ini berangkat dari kebisaaan dan pemahaman bahwa
hukuman mesti memenjarakan. Kunci pendekatan keadilan restoratif adalah
membangun hubungan langsung dan nyata antara kejahatan dengan respon. Dalam
bahasa teknis bisa dikatakan bahwa yang menjadi ukuran bukanlah hukumannya,
melainkan bagaimana hukuman itu disepakati para pihak serta proses pengawasan terhadap
hukuman itu. Dengan demikian, yang menjadi dasar pendekatan ini bukanlah pelaku
jera atas perbuatannya, melainkan terbangunnya kesadaran untuk bertanggungjawab
atas perbuatannya dan kemampuan untuk mengendalikan prilaku di masa yang akan
datang. Ini berbeda dengan penindakan retributif yang mengandalkan efek jera.
Prakteknya memang anak-anak jera, tapi jeranya anak-anak lebih kepada masuk
penjara dan bukan untuk tidak melakukan perbuatan tindak kriminal. Sehingga
yang dituntut adalah kecerdasan atau kelihaian melakukan tindak kriminal tanpa
pernah tertangkap.[viii]
Biro HALT[ix]
Pada tahun 1981 di Rotterdam didirikan Biro HALT (Het Alternatief), biro ini didirikan pertama kali untuk menanggulangi
vandalisme di kalangan anak-anak. Anak yang mengakui kesalahan dan merasa
menyesal dapat memilih anatara penanganan secara konvensional oleh polisi atau
berperan serta dalam proyek HALT. Anak yang mengikuti program HALT diberikan
tugas selama waktu luangnya atau membayar ganti rugi yang disebabkan oleh
perbuatannya.
Adapula contoh bentuk transaksional antara kegiatan Biro
HALT dengan polisi, dalam penanganan kasus pencurian di Mall yang dilakukan
oleh seorang anak:
Kasusnya menyangkut seorang anak yang bernama B mencuri
barang di Mall. Perbuatan B diketahui petugas keamanan Mall bersangkutan, dan
ditangkap, serta diserahkan kepada polisi. Atas dasar pemahaman polisi,
perbuatan B memenuhi syarat untuk diikutsertakan dalam program HALT. Transaksi
yang ditawarkan oleh polisi diterima oleh B dan orang tuanya. Petugas HALT
kemudian memanggil B beserta orang tuanya, pemilik Mall (korban) dan polisi.
Perjanjian yang dihadiri pihak-pihak itu kemudian secara bersama-sama
merundingkan sanksi yang harus dijatuhkan pada B. Kesepakatan yang terjadi
antara anak, orang tua anak, dan korban, petugas HALT, dan polisi adalah: B
harus mengembalikan barang yang telah dicurinya. Untuk menebus kesalahannya B
harus membersihkan lantai Mall selama 2 bulan, yang pengerjaannya dilakukan
tiap akhir minggu selama 2 jam, yang waktunya ditentukan sendiri oleh B, sesuai
waktu luangnya. Pada akhirnya B dilaporkan telah menyelesaikan tugasnya dengan
baik dan tidak ada lagi penuntutan pidana atas diri B.
Penutup
Perkembangan terakhir
AAL akhirnya divonis bersalah, dia memang mencuri tapi persidangan tuduhan itu
tidak dapat dibuktikan dengan fakta barang bukti yang sesuai. Walaupun akhirnya
ia dihukum dengan dikembalikan pada orang tuanya. Tapi stigma ‘pencuri’ jelas
akan melekat pada dirinya. Tentu saja ini akan berimplikasi pada labelling masyarakat dan sikap pribadi
terhadap teman sebayanya. Putusan hakim tunggal RFT mendapat respon dari
berbagai pihak. Ada yang mengatakan putusan tersebut kontroversial karena fakta
persidangan sesungguhnya tidak terbukti. Rangkaian peristiwa sejak 27 Mei 2010
di mana AAL pada saat itu masih berumur 14 tahun, hingga seteru antara orang
tuanya dengan pihak yang menyebut diri sebagai korban, Briptu Akhmad Rusdi,
luput dari pertimbangan hukum hakim. Barang bukti berupa sandal jepit milik
korban yang dicuri yaitu merek Eiger no. 43, sementara barang bukti di persidangan
yang diajukan JPU yaitu sandal merek Ando no. 9,5.
Dalam kasus AAL pemerintah
selayaknya merujuk UU Perlindungan Anak sebagai salah dasar hukum. Karena pada
hakikatnya anak memerlukan perlindungan orang dewasa dan menghindari stigma
negatif yang akan membekas kepadanya. Dalam kasus lain dalam pidana anak yang
akhirnya berujung pada memenjarakan anak, hendaknya perlu ditumbuhkan kesadaran,
bahwa penjara bukan solusi yang dapat memberikan efek jera atas tindakan anak.
Justru dalam beberapa aspek, sikap pribadi menjadi lebih negatif selepas keluar
penjara.
Model peradilan anak
restoratif berangkat dari asumsi bahwa perilaku kenakalan anak adalah perilaku
yang merugikan korban dan masyarakat. Tanggapan peradilan restoratif terarah
pada pembangkitan rasa tanggungjawab anak dengan cara perbaikan kerugian dan
penyembuhan luka. Di masa mendatang masyarakat pun diharapkan berperan aktif
‘mendidik’ anak untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya baik terhadap korban,
keluarganya, masyarakat pada umumnya.
Keadilan restoratif
dapat dijadikan sebagai alternatif mengatasi kenakalan anak dan pihak yang
dirugikan atas penyimpangan yang dilakukan oleh anak. Untuk itu pemerintah
melalui Depkumham perlu merintis penyelesaian model ini yang sebenarnya dapat
dilihat contohnya di negara lain seperti Belanda (negara yang menciptakan KUHP
bagi Indonesia), Australia, Selandia Baru, berbagai negara bagian di Amerika
Serikat dan Jepang.(*)
29 Maret 2012
[i]
Kartono, K. 2006. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
[ii]
Dalam Sarwono, S. W. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta: Radja Grafindo
Persada.
[iii]
Ibid.
[iv]
Soekanto, 2004.
[v]
Hadisuprapto, Paulus. 2006. Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia
Masa Datang. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, dalam http://eprints.undip.ac.id/336/1/Paulus_Hadisuprapto.pdf
[vii]
http://faturohmanalbantani.blogspot.com/p/pendekatan-restorative-justice-sebegai.html
[viii]
Ibid
[ix]
Op. cit, Paulus hal 40-41.
No comments:
Post a Comment