Indonesia negeri elok nan
permai, berbagai varietas flora fauna tumbuh di sini. Belum lagi dengan sumber
daya alam yang langka maupun sumber daya alam terbarukan. Sukubangsa yang yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke, dengan beraneka budaya dan warna kulit.
Betapa pemandangan indah yang patut disyukuri bisa hidup di negara ini. Namun dari
sekian banyak pesona materil yang dimiliki negeri ini, Indonesia juga memiliki
para sumber daya manusia yang hebat. Mereka adalah para generasi penerus yang
akan meneruskan tongkat estafet memimpin negeri ini. Siapapun anak bangsanya,
tidak hanya pria tapi juga ada para wanita.
Ranah Domestik vs Publik
Dalam
hal ini saya tidak ingin mengangkat debat antara wanita karir atau wanita di
rumah. Namun yang sangat disayangkan perdebatan itu kerapkali masih muncul
dalam perkembangan dan pembahasan dewasa ini. Sangatlah disayangkan ketika para
wanita sendiri bahkan tidak memuji perannya, sekecil apapun itu.
Bahkan
sekarang dalam perkembangannya ada istilah stay
at home mother dan working mom.
Ibu di rumah dan ibu bekerja, di sosial media kadang ada saja perdebatan soal
ini. Sebagian golongan ada yang mencibir golongan yang lain. Mengapa hal
tersebut harus terjadi, bukankah wanita di rumah maupun di kantor tetap saja
berperan sebagai ibu. Mengapa wanita bekerja dianggap menelantarkan anak, lalu
mengapa ibu yang di KTP nya bertuliskan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga seakan
tidak percaya diri dengan statusnya. Debat seperti ini tidak akan ada habisnya.
Hal terpenting dari itu semua adalah bagaimana agar masing-masing wanita
tersebut bisa menjalankan statusnya dengan seimbang antara ranah domestik dan
publiknya. Keluarga terkendali semua merasa bahagia.
Feminisme Barat vs Patriarki Timur
Bagi
negara-negara Barat yang paham dan menggerakan kesetaraan gender, isu feminisme
sangat dikedepankan. Namun feminisme juga beragam modelnya, ada yang liberal
ada yang tetap berpegang teguh pada kodrat sebagai seorang wanita. Perkembangan
pada hari ini, kebebasan hak bersuara dan politik dapat dirasakan juga oleh
para wanita Indonesia. Walaupun kadang di sisi lain dalam penerapannya tetap
saja wanita sering terbentur pada masalah status dan peran domestik dan publik.
Dalam
lingkup kehidupan bernegara, mengutip jurnal mengenai kondisi politisi wanita
di India oleh Sushma Swaraj (anggota parlemen): “Sangat sulit bagi
seorang wanita
untuk memutuskan masuk dalam dunia politik. Sekali ia
memutuskan pikirannya, maka ia harus mempersiapkan suami, anak, dan
keluarganya. Sekali itu pula ia menyingkap semua kendala dan melamar menjadi
kandidat partai, lantas calon laki-laki menentangnya ketika ia mengangkat kisah
mengenainya. Dan bagaimanapun, ketika namanya masuk dalam partai, mereka tidak
menseleksi namanya karena mereka takut kehilangan kursi”.
Beberapa
pahlawan wanita Indonesia juga pernah hadir dalam kehidupan bernegara. Sebut
saja Malahayati dan Cut Nyak Dien dari Aceh, Dewi Sartika dari Jawa Barat, juga
RA Kartini dari Jawa Tengah. Di masa itu mungkin paham feminisme belum meluas
di Indonesia, namun mereka bisa berjuang tanpa batas merebut kemerdekaan,
dengan terjun langsung ke medan perang, mendirikan sekolah, atau menulis surat
tukar pikiran dengan nona Barat. Padahal kita pun tahu budaya patriarki
terlebih di tanah Jawa melekat erat dengan kehidupan wanita. Wanita identik
dengan insan penurut, berbagai atribut rumah tangga, serta pekerjaan dari
sumur, dapur, dan kelambu. Tapi fakta perjuangan para pahlawan itu mematahkan
mitos tersebut. Mereka menunjukkan bahwa wanita bisa berkiprah dan berkuasa di luar
lingkup ‘istananya’.
Partisipasi Politik Wanita
Perkembangan
politik Indonesia hari ini memasuki babak reformasi, pilihan untuk menempuh
pemerintahan dengan sistem demokrasi melahirkan banyak konsekuensi sikap yang
harus diambil dalam mengatur kebijakan negara. Diterapkannya pemilihan umum
(pemilu) sebagai praktik demokrasi prosedural, telah membuka harapan baru bagi
keterwakilan wanita yang direpresentasikan melalui lembaga legislatif di parlemen.
Di
dunia, tradisi keterwakilan wanita di parlemen sudah banyak diterapkan
khususnya di negara bagian utara seperti Skandinavia serta di negara Barat
seperti Eropa dan Amerika Serikat. Namun, di Indonesia hal tersebut justru
belum menjadi tradisi. Keterwakilan wanita di Indonesia berada dalam peringkat
ke-86 setelah Azerbaijan (berdasarkan data IPU per 30 November 2007).
Saat
ini Undang-Undang Partai Politik telah mengatur ketetapan kuota 30 persen bagi wanita.
Bentuk diskriminasi positif ini merupakan dorongan berupa tindakan khusus (affirmative action), sehingga dapat
menjadi awal yang seimbang bagi wanita untuk dapat berkompetesi dengan kandidat
pria di partai maupun parlemen. Tindakan ini bertujuan untuk mempercepat
tercapainya keadilan dan kesetaraan. Kompetisi yang dimaksud sesungguhnya bukan
dalam rangka memperebutkan kekuasaan di parlemen, tetapi lebih kepada penguatan
peran wanita demi terwujudnya kepentingan wanita di dalam lingkup nasional,
salah satunya dalam pembahasan anggaran yang memperhatikan keadilan dan
kesetaraan gender.
Tahukah
kita yang dimaksud dengan anggaran sudut pandang gender adalah implementasi
program anggaran negara berkeadilan gender. Betapa tidak sedikit kondisi wanita
Indonesia yang jauh dari kesejahteraan hidup, fisik dan batinnya. Mungkin bisa
jadi budaya patriarki juga memiliki andil dalam pewarisan sistem tradisi ini. Dalam
perkembangan pendidikan dan kesadaran berpolitik dari pejabat pemerintah
terutama wanita yang berada di parlemen diharapkan dapat memfasilitasi,
mempromosikan, dan menjamin implementasi anggaran untuk kesejahteraan wanita
Indonesia di semua sektor kehidupan. Anggaran gender bertujuan membantu
mengatasi kesenjangan anggaran pemerintah untuk tujuan pembangunan yang
bersifat ekonomi dan sosial bagi wanita. Metode ini adalah metode yang paling
sering digunakan untuk menilai apakah suatu anggaran berpihak kepada wanita atau
tidak.
Kembali
pada munculnya wajah wanita di panggung politik, mengapa wanita harus turut
berpartisipasi, ikut memilih ataupun dipilih. Tentunya hal ini bisa menjadi titik
tolak untuk mengingatkan kita kembali, bahwa betapa banyak pria hebat pemimpin
bangsa pasti terdapat wanita hebat di sampingnya. Seperti ibu Fatmawati sang
istri proklamator, atau ibu Ainun Habibie yang kisah hidupnya dibukukan oleh
suaminya, dibaca banyak orang diterjemahkan dalam bahasa Jerman, bahkan sudah
difilmkan. Indah sekali jika mengingat semua tokoh wanita hebat dalam negeri
ini. Dengan demikian kita kembali disadarkan betapa negara Indonesia memiliki
sumber daya manusia yang unggul yaitu wanita sebagai ‘tiang negara’.
Dalam
partisipasi politik untuk dipilih dalam pemilu, kita bisa lihat di lapangan
betapa banyak artis yang setelah terkenal kemudian menjadi vote getter untuk partainya, sebut saja Wanda Hamidah, Nurul
Arifin, Angelina Sondakh, Rieke Diah Pitaloka, dan politisi wanita lainnya yang
memiliki pendidikan tinggi dan aktif dalam berbagai gerakan seperti Eva Kusuma
Sundari dan Yoyoh Yusroh. Walaupun di kemudian hari ada kasus hukum, politik,
atau masalah keluarga yang kemudian menimpa mereka, tapi itulah kondisi riil
wanita bangsa ini. Bangsa Indonesia memiliki sesungguhnya memiliki potensi
wanita hebat di ranah politik. Kali ini saya akan membahas satu tokoh anggota
parlemen Indonesia yang sudah wafat beberapa tahun lalu. Beliau adalah ibu
Yoyoh Yusroh, ia masuk ke dalam partai dan kemudian berhasil masuk ke dalam
parlemen selama dua periode.
Hj. Yoyoh Yusroh (Almh), legislator RI 2 periode sejak 2004 |
Ibu
dari 13 anak ini dapat saya katakan berhasil menuai prestasi membesarkan
anak-anaknya dengan ketegasan dan komunikasi dialogis. Ketika jam terbangnya
semakin tinggi beberapa organisasi diikuti, prestasi dan penghargaan
internasional diraih, masuk partai politik, menghadiri banyak rapat, datang ke
gedung parlemen, tentunya sesuatu yang tidak mudah untuk dijalani oleh seorang
wanita terlebih lagi dia adalah seorang ibu. Namun faktanya hal tersebut bisa
dia jalankan, berbagai amanah pekerjaan pernah diembannya, hingga akhir
hidupnya. Keseimbangan diri antara keluarga dan aktivitas negara, tentunya hanya
bisa dijalani oleh wanita Indonesia yang hebat.
Mengapa
wajah seperti ibu Yoyoh, Wanda Hamidah, Nurul Arifin, Puan Maharani, Eva Kusuma
Sundari, Rieke Diah Pitaloka, atau bahkan Angelina Sondakh sang Puteri
Indonesia harus hadir dalam panggung politik? Seberapa penting sebenarnya
keberadaan mereka. Apakah hanya bertujuan menghiasi dunia politik, memenuhi
syarat demokrasi kuota 30 persen. Sebagai hiasan ibarat puspa yang bermekaran
di tanah Indonesia. Tampaknya tidak demikian tujuannya.
Tujuan
hadirnya wajah wanita di panggung politik dan berhasil menembus kursi parlemen
diharapkan dapat mengakomodir aspirasi yang datang dari golongannya dengan
memperhatikan kemanfaatan dan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Tanggung jawab
yang berat pastinya, dan tidak semua wanita memiliki peluang yang sama untuk
dipilih dalam kontes sistem demokrasi ini.
Dalam
kerangka demokrasi, peningkatan jumlah representasi wanita dalam lembaga
politik formal hanya dapat dilakukan melalui jalur parpol. Partai politik
dianggap merupakan jalur yang paling efektif dapat digunakan untuk meningkatkan
jumlah keterwakilan wanita secara signifikan. Partai juga merupakan
satu-satunya organisasi politik yang secara sah dapat ikut dalam pemilu.
Sebagai organisasi politik yang mewakili aspirasi rakyat, partai diharapkan
juga dapat mengangkat aspirasi dan kepentingan wanita. Oleh karenanya kehadiran
wajah wanita di panggung politik, sebagai anggota partai, sebagai legislator, sebagai
menteri, atau bahkan sebagai presiden merupakan salah satu prestasi wanita
Indonesia yang patut dibanggakan. Mereka bisa keluar rumah, mempersiapkan
keluarganya ketika ditinggalkan, memikirkan rakyat Indonesia, dan memikirkan
bangsanya tanpa menegasikan status dan kodratnya sebagai seorang wanita.
Licia Ronzulli is an Italian member of the European Parliament |