Pada bulan
September 2012 pemberitaan pengunduran diri Wakil Bupati Garut Dicky Chandra, menjadi
fenomena baru di masa otonomi daerah saat ini. Kemudian disusul oleh
pengunduran diri Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto pada akhir Desember 2011. Tampaknya
ini merupakan hal baru di fase demokrasi ketika rakyat memilih para pemimpinnya
secara langsung. Sikap ini kemudian mendapatkan berbagai tanggapan pro dan
kontra baik dari kalangan pemerintahan (mendagri dan kepala daerah), anggota
parlemen, maupun rakyat daerah yang bersangkutan. Walaupun di luar itu semua,
dalam UU No. 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah telah diatur bahwa pejabat
kepala daerah memiliki hak untuk mengundurkan diri dalam masa jabatannya.
Alasan Pengunduran Diri
Berbagai alasan dikemukakan,
namun tampaknya lebih karena ketidakharmonisan antara kedua pimpinan daerah
tersebut. Dalam kasus Dicky Chandra, ia menyebutkan bahwa alasannya adalah, “Karena saya tidak mampu membantu Bupati.
Saya terlalu banyak kelemahan, dari sisi pengalaman saya juga kurang. Kalau
bicara tidak sejalan”.[i] Hingga Asisten I Pemerintahan, Hukum,
dan Hak Azasi Manusia (HAM) Pemprov Jabar Herri Hudaya, menilai bahwa isi dari
surat pengunduran diri tersebut lebih mirip dengan curahan hati (curhat).
Sedangkan dalam kasus
pengunduran diri Prijanto, ia menyatakan bahwa
pengunduran dirinya karena merasa tidak bisa bekerjasama dengan Gubernur Fauzi
Bowo. Namun banyak pihak menangkap kesan bahwa ia ingin mencalonkan diri dalam Pilkada DKI Jakarta tahun
ini. Karena akhir masa baktinya bersama Gubernur DKI Fauzi Bowo baru akan berakhir
pada 7 Oktober 2012. Keterangan resmi mengenai pengunduran diri Prijanto
dikeluarkan oleh perwakilan bidang Humas Pemprov DKI Jakarta, Minggu (25/12/2011),
kepada para wartawan. Meski demikian, Fauzi Bowo menanggapi bahwa ia tetap
menghormati keputusan yang diambil oleh Prijanto. Ia meyakini bahwa pengambilan
keputusan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sudah benar-benar dipikirkan
oleh Prijanto.
Dengan dua kasus di atas,
memang sudah memperlihatkan adanya perubahan budaya di kalangan pejabat di negara
ini. Dari sisi kemauannya untuk mundur dapat diberikan poin positif mungkin
dikarenakan ketidakmampuan untuk meneruskan amanat rakyat. Namun, dari sisi
lain masih banyak hal yang perlu dijelaskan. Rakyat dituntut agar lebih cerdas
dalam menyikapi setiap pemberitaan dalam media yang ada.
Peraturan Perundangan
Dalam UU No 12 tahun 2008
tentang Pemerintahan Daerah memang tidak dilarang jika kepala daerah atau wakil
kepala daerah suatu pemerintahan ingin mengundurkan diri karena alasan merasa
tidak dapat menunaikan kewajibannya lagi, atau ingin mencalonkan diri atau
dicalonkan menjadi kepala/wakil kepala daerah di daerah sendiri atau daerah
lain. ini berlaku bagi wakil bupati, atau wakil walikota, atau wakil gubernur.
Namun celah dalam UU ini jarang dilakukan oleh wakil kepala daerah selama ini.
Adapun poin penjelasan mengenai
pengunduran diri kepala daerah:[ii]
huruf (q)
Pengunduran diri gubernur dan wakil gubernur dibuktikan
dengan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik
kembali disertai dengan surat persetujuan Menteri Dalam Negeri atas nama
Presiden, sedangkan keputusan Presiden tentang pemberhentian yang bersangkutan
sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah disampaikan kepada KPU provinsi
selambat-lambatnya pada saat ditetapkan sebagai calon gubernur dan wakil
gubernur.
Pengunduran diri bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dibuktikan dengan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali disertai dengan surat persetujuan Menteri Dalam Negeri, sedangkan keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pemberhentian yang bersangkutan sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah disampaikan kepada KPU kabupaten/kota selambat-lambatnya pada saat ditetapkan sebagai calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.
Pengunduran diri bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dibuktikan dengan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali disertai dengan surat persetujuan Menteri Dalam Negeri, sedangkan keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pemberhentian yang bersangkutan sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah disampaikan kepada KPU kabupaten/kota selambat-lambatnya pada saat ditetapkan sebagai calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.
Jika hal tersebut disetujui
pejabat berwenang maka kekosongan jabatan dapat diisi sesuai peraturan UU
berikut ini:[iii]
Pasal 26 ayat 6-7
(6) Dalam hal terjadi
kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik atau
gabungan partai politik karena
meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya
dan masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih,
kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah berdasarkan
usul partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
(7) Dalam hal terjadi
kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang berasal dari calon perseorangan
karena meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya
dan masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih, kepala
daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh
Rapat Paripurna DPRD.
Menurut pakar hukum
administrasi negara dari UGM Zainal Arifin Mochtar, seorang kepala daerah atau
wakilnya resmi berhenti dari jabatannya sejak menyatakan mengundurkan diri.
Keputusan presiden tentang pemberhentian kepala/wakil kepala daerah hanyalah
menegaskan status pejabat yang bersangkutan. Karena tidak ada lembaga penerima
pengunduran diri. Sifat DPRD lebih pada penegasan saja. Maka, seseorang yang
mengundurkan diri, berhenti sejak menyatakan berhenti. Keppres lebih pada
statusnya saja, sifatnya hanya meresmikan.[iv]
Tanggapan
Negatif
Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo menilai,
pengunduran Dicky Chandra dari Wakil Bupati Garut telah melanggar etika sebagai
pejabat publik. Apalagi pengundurannya lebih disebabkan oleh masalah
pribadi. "Itu urusan internal
dan pasangannya, dia harus menjalankan roda pemerintahan sebagai konsekuensi
orang yang sudah diberi amanah oleh rakyat. Jangan dijadikan problem pribadi.
Sebagai pejabat publik yang diberi amanah
oleh rakyat harus bertanggung jawab terhadap apa yang diberikan rakyat. Jika
Dicky memiliki masalah internal, seharusnya masalah tersebut disampaikan pada
publik agar publik bisa menilai. Seharusnya pengunduran dirinya tidak
usah."
Baginya, ada tiga alasan kenapa Dicky Chandra tak
patut untuk mengundurkan diri dari jabatan Wakil Bupati. "Pertama, ini melanggar etika. Kedua, suatu
sikap tidak bertanggung jawab dari amanah rakyat yang diembankan. Dan ketiga,
tidak menjadikan urusan pemerintahan sebagai urusan privat. Karena tidak
bertanggung jawab dan menjadikan masalah pemerintahan dipersempit menjadi
masalah pribadi." Karena pengunduran diri seorang pejabat pemerintah
akan menjadi preseden buruk bagi pemerintahan. (12/9/2011)[v]
Ketua DPRD DKI Jakarta, Ferrial
Sofyan, mengatakan bahwa pengunduran diri seorang gubernur atau wakil gubernur
harus berkoordinasi dulu dengan partai politik yang mendukungnya saat Pemilihan
Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Hal itu merupakan sebuah etika politik yang
sudah semestinya dilakukan oleh seorang pemimpin. Mengingat pasangan gubernur
dan wakil gubernur ini terpilih karena dukungan partai politik pendukungnya dan
juga warga Jakarta secara umum. Menurutnya "Prijanto dulu didukung 21 partai politik. Jadi seharusnya, dia
koordinasi terlebih dahulu ke partai politik yang mengusungnya. Tidak ujug-ujug
ke Menteri Dalam Negeri".
Menurutnya juga, persetujuan
pengunduran diri seorang gubernur atau wakil gubernur ini harus melewati
berbagai macam prosedur. Pada akhirnya, yang berhak memutuskan pengunduran diri
ini adalah DPRD setelah menerima surat pengunduran diri resmi dan menggelar
Rapat Pimpinan. "Itu etika
politiknya. Disetujui atau tidaknya pengunduran dirinya kembali pada DPRD DKI".[vi]
Pengamat Politik
UI Boni Hargens, menyayangkan pengunduran diri Prijanto sebelum masa jabatannya
berakhir. Boni memperkirakan, pengunduran diri Prijanto terkait dengan
rencananya untuk maju pada Pilkada Gubernur DKI Jakarta yang akan
diselenggarakan pada Juli 2012 (Republika,
25/12/2011). Jika mencermati Peraturan Pemerintah (PP) No 49 tahun
2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 6 tahun 2005 tentang Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
sebetulnya cukup memberikan waktu yang longgar kepada pejabat daerah untuk
menyelesaikan tanggung jawabnya meskipun ingin mencalonkan diri kembali. Pada
pasal 40 PP No.49 tahun 2008 itu menyebutkan, bahwa pejabat yang bersangkutan
diberi kesempatan untuk mengajukan surat pengunduran diri ke Menteri Dalam
Negeri pada 14 hari sebelum hari pendaftaran pencalonan ke KPU daerah.
Penilaian Peneliti LIPI Tri
Ratnawati, pengunduran diri Prijanto dari jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta
saat ini sebagai keputusan yang tidak profesional. Menurut dia, Gubernur dan
Wakil Gubernur dipilih masyarakat untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
hingga akhir masa jabatannya. "Meskipun
Prijanto tidak menjelaskan alasan pengunduran dirinya, tapi sejumlah pihak
menduga karena ingin maju pada Pilkada DKI Jakarta mendatang". Sebaiknya,
Prijanto melaksanakan tugasnya hingga akhir masa jabatannya pada Oktober 2012.
Perbedaan pandangan antara Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tidak bisa
dijadikan dasar untuk mengundurkan diri, karena amanat rakyat jauh lebih
penting. Jika terkait dengan keinginan untuk mencalonkan diri pada Pilkada DKI
Jakarta tahun 2012, pengunduran diri Prijanto ini tergolong lebih awal.
Pengunduran diri pejabat daerah yang lebih awal seperti ini terjadi di beberapa
daerah, yakni berpisahnya pasangan pemenang pilkada yang memimpin daerah
menjelang pilkada berikutnya. Motifnya jelas yakni, masing-masing dari mereka
ingin mencalonkan kembali menjadi orang nomor satu di daerah yang pernah
dipimpinnya.[vii]
Evaluasi Peran
Wakil Kepala Daerah
Kasus
mundurnya Dicky Chandra dan Prijanto dari kursi Wakil Bupati Garut dan Wakil Gubernur
DKI Jakarta merupakan contoh kecil persoalan ketidakharmonisan pasangan kepala
daerah yang tersebar di Indonesia. Terhitung menurut Saldi Isra (26/12/11),
kemungkinan hanya 2 hingga 3 persen kepala daerah yang bisa harmonis dan
melanjutkan pemilihan periode berikutnya. Selebihnya, pasangan pimpinan daerah
banyak yang tidak cocok. Ada yang tahan
sampai akhir, ada yang berpisah di tengah jalan. Untuk itu, peran wakil kepala
daerah perlu dievaluasi.
Alasan
pengunduran diri para wakil kepala daerah ditengarai berawal dari porsi tugas
yang kurang seimbang di antara kepala dan wakil. Atau persoalan pembagian “kue
politik“ sebagai pemimpin daerah. Selama ini sepertinya wakil hanya sebagai
pemain cadangan. Jika pemain inti masih mampu bermain, pemain cadangan cukup
duduk manis saja. Oleh karenanya, perlu ada aturan yang jelas tentang
pembagian tugas dan kerja antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah.
Amanat para pemilih sepatutnya lebih penting ketimbang mengedepankan
kepentingan pribadi. Jabatan itu adalah kewajiban yang dibebankan rakyat dalam
kurun waktu tertentu untuk menjalankan tugas pemerintahan.
Dalam
UU Pemerintahan Daerah memang tidak terlalu menggambarkan secara rinci bagaimana
sesungguhnya peran seorang wakil kepala daerah. Pada umumnya wakil kepala
daerah hanya memiliki wewenang terbatas substitusi jika kepala daerah
berhalangan. Karena yang diberikan mandat adalah kepala daerah. Sedangkan wakil
kepala daerah bertanggung jawan kepada kepala daerah, sehingga akan efektif
kalau diberi kewenangan oleh kepala daerah. Jika wewenang tersebut tidak
didapatkan, terlebih lagi jika wakil kepala daerah menunjukkan rivalitas
kepemimpinan, maka tugas wakil kepala daerah bisa jadi hanya berujung pada seremonial
seperti “gunting pita” tanpa ada kewenangan pemerintahan yang berarti. Hal
inilah yang sering memicu terjadi konflik antar-pasangan kepala daerah.
Ruang konflik antara kepala daerah dengan
wakil kepala daerah antara lain mengenai isi kewenangan sebagai tindak lanjut
dari pelaksanaan tugas. Berbagai tugas wakil kepala daerah berkaitan dengan
kata kerja: membantu, memantau, mengkoordinasikan, menindaklanjuti,
melaksanakan, mengupayakan, mengevaluasi, memberikan saran memerlukan kewenangan
untuk melaksanakannya. Tanpa ada batas kewenangan yang jelas. berbagai tugas
tersebut akan menjadi kabur dalam implementasi dan tanggungjawabnya. Kewenangan
tersebut terutama berkaitan dengan aktivitas untuk memutuskan sesuatu. Apabila
keputusan yang telah diambil oleh wakil kepala daerah dimentahkan kembali oleh kepala
daerah, maka wibawa wakil kepala daerah akan pudar.
Meskipun kepala daerah dan wakil kepala
daerah dipilih dalam satu paket, tetap hubungan kerjanya bersifat hierarkhis,
karena dalam satu organisasi hanya ada satu pimpinan tertinggi.
Pasal 26
(1)
Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
- membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
- membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
- memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
- memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;
- memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah;
- melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan
- melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila
kepala daerah berhalangan. (2)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.
(3) Wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya.
Secara
umum fenomena pengunduran diri ini sepertinya tidak merugikan masyarakat,
karena porsi kerja dan wewenang wakil kepala daerah tidak besar. Sehingga roda
pemerintah dapat berjalan sebagaimana biasa. Namun hal tersebut akan membuat
situasi politik tidak stabil. Terlebih lagi bagi pasangan yang akhirnya
menjabat berasal dari gabungan partai politik pendukungnya kala pemilukada yang
lalu.
Pembagian
tugas, wewenang dan kewajiban antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah harus
disadari merupakan wilayah yang rawan konflik, apabila tidak diatur secara
tegas dan rinci dalam ketentuan perundang-undangan yang cukup kuat kedudukan
hukumnya.
Ada
tiga model yang dapat digunakan yakni:[viii]
1) Diatur
secara rinci dalam UU atau PP
• Pola ini memiliki kelebihan karena memberikan
kepastian hukum mengenai apa yang menjadi tugas, wewenang dan kewajiban wakil kepala
daerah, sehingga memperkecil peluang terjadinya konflik.
• Pola ini memiliki kelemahan yakni kaku, sehingga menutup adanya diskresi dari kepala daerah untuk memberikan tugas, wewenang dan kewajiban yang lebih luas kepada wakil kepala daerah. Pola ini juga tidak memperhatikan perbedaan karakteristik masing-masing daerah yang seharusnya diikuti dengan isi pembagian tugas, wewenang dan kewajiban antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah secara berbeda.
• Pola ini memiliki kelemahan yakni kaku, sehingga menutup adanya diskresi dari kepala daerah untuk memberikan tugas, wewenang dan kewajiban yang lebih luas kepada wakil kepala daerah. Pola ini juga tidak memperhatikan perbedaan karakteristik masing-masing daerah yang seharusnya diikuti dengan isi pembagian tugas, wewenang dan kewajiban antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah secara berbeda.
• UU
Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan pola ini, tetapi
tidak memberi perintah untuk menjabarkannya lebih lanjut dalam Peraturan Kepala
Daerah (Perkada).
2) Diatur
prinsip-prinsipnya di dalam UU atau PP, kemudian dijabarkan lebih lanjut dengan
peraturan yang lebih rendah tingkatannya seperti Peraturan Kepala Daerah.• Pola
ini menggunakan pendekatan eklektif, yakni menggabungkan berbagai keunggulan
dari berbagai pendekatan. Melalui pola ini, maka prinsip-prinsip pembagian
tugas,wewenang, kewajiban dan tanggung jawab antara kepala daerah dengan wakilnya
ditetapkan secara limitatif dalam UU atau PP. Dengan demikian ada pedoman yang
jelas bagi kedua belah pihak.
• UU
atau PP tersebut kemudian memberi mandat kepada kepala daerah untuk menjabarkan
lebih lanjut mengenai isi tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab wakil
kepala daerah sesuai situasi dan kondisi masing-masing daerah serta komitmen
awal pada saat pencalonan dalam pilkada. Penjabarannya diatur lebih lanjut melalui
Perkada.
• Meskipun
wakil kepala daerah tidak mengambil keputusan secara langsung mengenai hal-hal
yang bersifat strategis, wakil kepala daerah harus memiliki kemampuan mempengaruhi
kepala daerah untuk membuat keputusan sesuai gagasannya.
3) Tidak
diatur dalam UU atau PP, tetapi lebih merupakan “gentlemen agreement” diantara dua orang yang dibuat pada saat
adanya kesepakatan untuk maju bersama dalam Pilkada.
• Pola
ketiga ini memberikan kebebasan sepenuhnya pada kepala dan wakil kepala daerah dalam
membagi tugas, wewenang, kewajiban dan tanggungjawabnya sesuai kesepakatan awal
pada saat pencalonan.
• Kunci
keberhasilan pola ini tergantung pada kesungguhan dari masing-masing pihak
untuk memegang teguh komitmen yang masing sudah dibuat. Pola ini sangat cocok
untuk digunakan bagi orang-orang yang sudah matang berpolitik dan sudah dikenal
luas karakternya.
• Pola
ketiga ini memang rawan konflik, karena posisi kekuasaan amat menggiurkan, terlebih
jika berkaitan dengan anggaran.
Wacana Pemda
Tanpa Wakil Kepala Daerah
Dari
fenomena seperti ini, ada wacana untuk meniadakan wakil kepala daerah dalam
pemerintahan daerah. Walaupun wacana ini nampak tidak populer terutama akan
menimbulkan instabilitas politik bagi kalangan partai politik, akan tetapi kebijakan tersebut tentunya dapat
ditinjau kembali.
Perlu
tidaknya wakil kepala daerah dapat dilihat pula dari cakupan wilayah
pemerintahan. Bagi wilayah yang luas dengan aktivitas tinggi, peranan wakil kepala
daerah sangat penting untuk membantu kelancaran roda pemerintahan daerah.
Sedangkan wilayah kecil mungkin posisi wakil kepala daerah tidak terlalu
diperlukan. Namun yang terjadi saat ini baik wilayah kecil maupun besar memiliki
wakil kepala daerah. Ironisnya, wilayah pemekaran yang belum ditentukan posisi
dana APBD juga menempatkan wakil kepala daerah. Hal ini tentunya akan
memperbanyak pos anggaran daerah.[ix]
Hingga
tampaknya posisi wakil kepala daerah saat ini perlu ditinjau kembali. Terlebih
banyak kejadian, hubungan kepala daerah dan wakilnya hanya harmonis ketika masa
kampanye. Setelah terpilih, hubungannya mulai renggang bahkan terkesan
rivalitas. Peranan wakil kepala daerah selama ini dirasakan kurang signifikan.
Kalaupun ada wakil kepala daerah yang menonjol hanya sedikit. Karena itu dalam
revisi UU 32 Tahun 2004, DPR dan pemerintah tengah merumuskan kebijakan
tersebut.
Posisi
yang terkesan penting dan strategis dari jabatan wakil kepala daerah dalam
kerangka manajemen pemerintahan sebetulnya berawal dari respon atas demokrasi yang
berlebihan. Hingga menyakini bahwa kehadiran pos jabatan wakil kepala daerah melalui
pemilukada langsung adalah pilihan yang dianggap lebih demokratis dan lebih pas
dengan semangat otonomi daerah. Terlebih lagi beberapa paket pasangan calon
pimpinan pemerintahan daerah seakan hanya sebagai simbol untuk menarik dukungan
suara dan menjadi “sumber daya” ekonomi politik bagi partai. Namun dalam
perjalanannya rasionalitas pertimbangan kebutuhan dari aspek tata kelola pemerintahan
daerah tidak terlalu diperhatikan.
Bertolak
dari berbagai tinjauan sebelumnya, ditambah dengan kebutuhan melahirkan
kepemimpinan lokal yang solid, efesiensi anggaran daerah, mengurangi beban
biaya sosial, politik dan ekonomi dalam proses Pemilukada, mungkin akan lebih
tepat dan produktif jika pilihannya adalah menghapus keseluruhan pos jabatan wakil
kepala daerah atau menghapus pos wakil kepala daerah di wilayah kecil saja. Hal
ini tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi maupun konstitusi, khususnya
Pasal 18 ayat (4). Dengan demikian tugas-tugas fungsionalnya dapat dilimpahkan
kepada Sekretaris Daerah. Perihal teknis regulasi terkait dapat didiskusikan
lebih jauh oleh Pemerintah dan DPR kelak pada saat pembahasan RUU Pemilukada.(*)
Oktober 2012
[i]
Kata Dicky Chandra usai bertemu Gubernur Jawa Barat
Ahmad Heryawan di rumah dinas Gubernur, Gedung Pakuan Bandung, Jawa Barat, Rabu
7 September 2011. (http://nasional.vivanews.com/news/read/245701-gubernur-diminta-jadi-mediator-aceng-dicky)
[ii] UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[ii] UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[iii]
UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
[vii]
http://megapolitan.kompas.com/read/2011/12/27/11382120/LIPI.Prijanto.Tidak.Profesional
[viii] http://www.ipdn.ac.id/wakilrektor/wp-content/uploads/WAKIL-Kepala-Daerah.pdf
[ix] http://www.jpnn.com/read/2012/01/24/115145/Wilayah-Kecil-Dinilai-Tak-Perlu-Wakil-Kepala-Daerah-
[viii] http://www.ipdn.ac.id/wakilrektor/wp-content/uploads/WAKIL-Kepala-Daerah.pdf
[ix] http://www.jpnn.com/read/2012/01/24/115145/Wilayah-Kecil-Dinilai-Tak-Perlu-Wakil-Kepala-Daerah-